Berdirinya Kemenag atas Usulan M Yamin dan Tokoh Muhammadiyah
SALAM-ONLINE.COM: Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengklaim, sejarah berdirinya Kementerian Agama (Kemenag) merupakan hadiah negara untuk Nahdlatul Ulama (NU), bukan umat Islam secara umum. Hal itu lantaran ada peran NU dalam pendirian Kemenag.
Dikutip dari laman resmi Kemenag, berdirinya kementerian ini bertugas untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang agama. Usulan pembentukan Kemenag pertama kali disampaikan oleh Muhammad Yamin dalam Rapat Besar (Sidang) Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 11 Juli 1945.
Dalam rapat tersebut, Yamin mengusulkan perlu diadakannya kementerian yang istimewa, yaitu yang berhubungan dengan agama. Menurut Yamin, tidak cukup jaminan kepada Islam dengan berdirinya Mahkamah Tinggi saja, melainkan harus diwujudkan menurut kepentingan ajaran Islam sendiri.
“Pendek kata menurut kehendak rakyat, bahwa urusan ajaran Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, wakaf, Masjid dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu yang kita namai Kementerian Agama,” kata Yamin, dikutip dalam laman resmi Kemenag di Jakarta, Senin (25/10/2021).
Realitas politik menjelang dan masa awal kemerdekaan menunjukkan pembentukan Kemenag memerlukan perjuangan tersendiri. Pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melangsungkan sidang pada Ahad, 19 Agustus 1945 untuk membicarakan pembentukan kementerian/departemen, usulan tentang Kemenag tidak disepakati oleh anggota PPKI.
Salah satu anggota PPKI yang menolak pembentukan Kemenag adalah Johannes Latuharhary. Keputusan untuk tidak membentuk Kemenag dalam kabinet Indonesia yang pertama, menurut BJ Boland, telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta.
KH Abdul Wahid Hasjim dalam buku Sedjarah Hidup KH A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kemenag, 1957: 856), menyatakan bahwa pada waktu itu orang berpegang pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Pikiran orang pada waktu itu, sambung dia, di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama.
“Begitu di dalam teorinya. Tetapi di dalam praktiknya berlainan,” kata ayah presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid tersebut.
Hasjim melanjutkan, setelah berjalan dari Agustus hingga November 1945, terasa sekali soal agama yang di dalam praktiknya bercampur dengan soal lain di dalam beberapa departemen tidak dapat dibiarkan begitu saja. Dia merasa sekali perlu berpusatnya masalah keagamaan di dalam satu departemen sendiri.
“Agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan) dari soal-soal lainnya. Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara,” kata Hasjim.
Usulan pembentukan Kemenag kembali muncul pada sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang diselenggarakan pada 25-27 November 1945. KNIP merupakan Parlemen Indonesia periode 1945-1950, sidang pleno dihadiri 224 orang anggota, di antaranya 50 orang dari luar Jawa (utusan Komite Nasional Daerah).
Sidang dipimpin oleh Ketua KNIP Sutan Sjahrir dengan agenda membicarakan laporan Badan Pekerja (BP) KNIP, pemilihan keanggotaan/ketua/wakil ketua BP KNIP yang baru dan tentang jalannya pemerintahan.
Dalam sidang pleno KNIP tersebut usulan pembentukan Kemenag disampaikan oleh utusan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Keresidenan Banyumas, yaitu KH Abu Dardiri (tokoh Muhammadiyah), KH Muhammad Saleh Suaidy dan Muhammad Sukoso Wirjosaputro. Mereka adalah anggota KNI dari Partai Masyumi.
“Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri,” kata juru bicara KNID KH M Saleh Suaidy.
Usulan anggota KNI Banyumas mendapat dukungan dari anggota KNIP khususnya dari Partai Masyumi, di antaranya Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi dan M Kartosudarmo. Secara aklamasi sidang KNIP menerima dan menyetujui usulan pembentukan Kemenag.
Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta akan hal itu. Bung Hatta langsung berdiri dan mengatakan, “Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah.”
Pada mulanya terjadi diskusi apakah kementerian itu dinamakan Kemenag Islam ataukah Kemenag saja. Tetapi, akhirnya diputuskan nama Kemenag. Pembentukan Kemenag dalam Kabinet Sjahrir II ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah Nomor 1 pada 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi:
“Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.”
Pembentukan Kemenag pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil pemimpin Islam, yang berkenan mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kalimat yang dicoret berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Maksud dan tujuan membentuk Kemenag, selain untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat beragama di Tanah Air, yang merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu tidak mendapat layanan yang semestinya, juga agar masalah yang bertalian dengan urusan keagamaan diurus serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau kementerian khusus.
“Sehingga pertanggungan jawab, beleid dan taktis berada di tangan seorang menteri. Pembentukan Kemenag, sebagaimana diungkapkan oleh mantan sekjen Kemenag R Moh Kafrawi berbunyi:
“…. dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekuler dan Kristen tentang pemisahan gereja dengan negara, dan teori Muslim tentang penyatuan antara keduanya. Jadi Kementerian Agama itu timbul dari formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka: sistem Islami dan sistem sekuler”.
Pengumuman berdirinya Kemenag disiarkan oleh pemerintah melalui siaran Radio Republik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menag pertama. HM Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern dan di kemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah.
Rasjidi yang merupakan alumnus Universitas Al Azhar kairo dan Universitas Sorbonne Paris saat itu adalah menteri tanpa portfolio dalam Kabinet Sjahrir. Dalam jabatan selaku menteri negara (menggantikan KH Abdul Wahid Hasjim), Rasjidi sudah bertugas mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam. (Republika)