Catatan Amina Sherazee*

SALAM-ONLINE.COM: Penangkapan yang melanggar hukum, penahanan sewenang-wenang, dan deportasi ilegal terhadap mahasiswa di seluruh Amerika Serikat baru-baru ini, seharusnya mendorong mereka yang masih menganggapnya sebagai benteng hak asasi manusia dan demokrasi untuk mempertimbangkan kembali (anggapannya itu).
Penangkapan rahasia, penahanan yang kejam dan tidak biasa, serta pencabutan visa mahasiswa yang berdasar pada politik terhadap Rumeysa Ozturk, seorang mahasiswa doktoral Universitas Tufts kelahiran Turki, pada 26 Maret 2025, mengungkap mitos tersebut.
Ozturk adalah seorang mahasiswa doktoral dalam Studi Anak dan Pengembangan Manusia di Universitas Tufts. Ia menempuh pendidikan doktoralnya itu melalui beasiswa Fulbright. Dia ikut menulis opini yang diterbitkan koran mahasiswa universitasnya. Tentang kampanye untuk menarik investasi dari perusahaan yang memiliki hubungan dengan “Israel”.
Saat dia meninggalkan kediamannya untuk berbuka puasa bersama pada Selasa (25/3/2025) lalu, aparat Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE), yang mengenakan topeng dan berpakaian preman hitam, tiba-tiba menyergapnya. Menyita ponselnya dengan paksa. Memborgol dan menculiknya menggunakan mobil van.
Dengan mengabaikan sepenuhnya aturan hukum, aparat AS secara diam-diam memindahkan Ozturk dari negara bagian Massachusetts ke pusat penahanan di Louisiana. Ini bertentangan dengan perintah pengadilan federal yang melarang pemindahannya.
Tidak ada tuntutan yang diajukan kepada Ozturk. Tak ada pula yang membenarkan perlakuan buruk dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialaminya.
Bahkan upaya Departemen Keamanan Dalam Negeri AS untuk melegitimasi pelanggaran hukum ICE dengan secara samar-samar mengklaim bahwa Ozturk terlibat dalam “kegiatan yang mendukung Hamas, organisasi teroris asing yang gemar membunuh warga Amerika” tidak sesuai dengan aturan hukum.
Bukan hanya tidak ada tuntutan, tetapi tidak ada bukti di atas yang dapat membenarkan penghentian visa pelajarnya.
Lebih jauh lagi, hal itu secara longgar didasarkan pada dekrit presiden otokratis yang berupaya untuk secara politis menindas dan menganiaya.
Pada Januari 2025, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengizinkan pemindahan mahasiswa asing yang berpartisipasi dalam mengkritik dan memprotes genosida “Israel” terhadap Palestina.
Perintah eksekutif Trump itu juga mengancam akan memotong dana universitas jika gagal melakukannya. Ancaman untuk memotong dana universitas dan mengadili mahasiswa merupakan pelanggaran Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang melarang pemerintah AS menggunakan ancaman untuk memotong dana guna memaksa penyensoran dan membungkam protes.
Selain itu, pemerintahan dengan dekrit eksekutif bukanlah fungsi demokrasi, melainkan otokrasi. Tata kelola seperti itu menetes ke pelanggaran kelembagaan hak-hak sipil dan kebebasan, seperti kebebasan berpikir, berekspresi, berkumpul dan berasosiasi, serta pelanggaran hak asasi manusia seperti penangkapan sewenang-wenang, penahanan dan hukuman yang kejam dan tidak biasa oleh negara.
Sebagai akibat dari perintah eksekutif yang menyerang hak asasi manusia dan konstitusional yang fundamental, universitas-universitas di seluruh AS telah menerapkan kode dan kebijakan pembatasan kebebasan berbicara yang melarang protes atas serangan terang-terangan terhadap kebebasan berbicara.
Banyak mahasiswa yang dideportasi
Mahasiswa di seluruh Amerika kini menghadapi penyensoran kebebasan berbicara dan acara. Mereka menghadapi tuduhan yang menggelikan, mendapatkan sanksi berat tanpa proses hukum karena terlibat dalam protes yang merupakan ciri khas aktivisme mahasiswa.
Ozturk hanyalah satu nama dalam daftar panjang mahasiswa yang menyuarakan hak asasi manusia Palestina. Termasuk kasus-kasus yang melibatkan lulusan Universitas Columbia (Mahmoud Khalil), mahasiswa Universitas Alabama (Alireza Douroudi), mahasiswa Columbia (Yunseo Chung), Universitas Georgetown (Badar Khan Suri), kandidat doktor Universitas Cornell (Momodou Taal), dan mahasiswa Universitas Columbia (Ranjani Srinivasan) yang menghadapi deportasi setelah pencabutan visa mereka sebagai mahasiswa.
Kasus-kasus ini hanyalah puncak dari gunung es. Masih banyak mahasiswa di Amerika yang menuntut universitas untuk menarik investasi dari produsen senjata dan mitra korporat yang terkait dengan “Israel” juga dianiaya.
Mereka (para mahasiswa) memiliki hak untuk memprotes. Permintaan mereka didukung oleh banyak laporan hak asasi manusia yang kredibel dan berwibawa yang mendokumentasikan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh “Israel”, serta keputusan pengadilan tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dapat dikatakan, penangkapan ribuan mahasiswa di puluhan kampus di Amerika yang memprotes genosida di Gaza bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang diperlukan dalam demokrasi.
Perlindungan terhadap perbedaan pendapat politik dari hukuman oleh negara merupakan fungsi inti dari Amandemen Pertama dalam Konstitusi AS. Sebagai ciri demokrasi dan hak asasi manusia bagi mahasiswa untuk terlibat dalam ekspresi bebas mengenai isu-isu sosial dan politik domestik dan internasional, baik di surat kabar mahasiswa, demonstrasi kampus atau perkemahan.
Kampus-kampus universitas AS, yang dulunya merupakan tempat yang ramai untuk penyelidikan intelektual, perdebatan kontroversial, dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil, kini telah menjadi tempat penyensoran, kebisuan dan ketakutan.
Penangkapan Ozturk lebih mirip dengan tindakan preman Gestapo (polisi rahasia di era NAZI) daripada perilaku yang diharapkan dari apa yang disebut “tanah kebebasan”.
Namun, ini bukan pertama kalinya di Amerika. Ini mengingatkan pada Ketakutan Merah pada tahun 1917-1920 dan McCarthyisme pada akhir tahun 1940-an dan sepanjang tahun 1950-an, di mana penindasan dan penganiayaan politik yang meluas terjadi.
Mereka yang terus percaya pada mitos keunggulan Amerika dalam hak asasi manusia dan demokrasi sedang membodohi diri mereka sendiri. Persis seperti rakyat yang memuji kaisar telanjang dalam dongeng terkenal “Pakaian Baru Kaisar”.
Ilusi itu hanya ada dalam imajinasi mereka. Bukan dalam kenyataan.
*) Penulis adalah pengacara yang berbasis di Kanada dengan pengalaman hukum selama 25 tahun
Sumber: Kantor Berita Anadolu