Suriah Telah Kembali… Kapan Kita ’kan Kembali?

Warga Suriah di Masjid Umayyah, Damaskus, di bulan puasa hari ketiga Ramadhan, 3 Maret 2025 (AFP)

SALAM-ONLINE.COM: Setiap tahun. Saat Idul Fitri mendekat. Banyak orang di dunia Arab, khususnya warga Suriah, melafalkan bait puisi masyhur dari penyair Al-Mutanabbi: “Hai Idul Fitri, dalam keadaan bagaimanakah engkau kembali? Dengan apa yang telah berlalu atau dengan sesuatu yang baru?”

Kalimat ini digunakan untuk mengungkapkan kesedihan dan kondisi menyedihkan – baik ekonomi maupun sosial – yang bertepatan dengan datangnya hari raya tersebut.

Namun, tahun ini, situasinya sama sekali berbeda. Warga Suriah tidak akan meratapi Idul Fitri mereka hari ini atau mengulang ratapan Al-Mutanabbi, keluhan yang telah mereka gaungkan selama hampir 14 tahun.

Idul Fitri yang mendekat tahun ini adalah perayaan sejati bagi mereka, yang ditandai dengan kegembiraan ganda: kemenangan dan kebebasan.

Sebaliknya, mereka mungkin akan menemukan diri mereka menyenandungkan lagu karya Kazem Al-Saher: “Idul Fitri dan cinta… Malam ini orang-orang merayakan. Jika kau bersamaku, Idul Fitri kita akan berlipat ganda.”

Saat ini, Idul Fitri di Suriah dirayakan dua kali. Memberikan kesempatan besar untuk berkumpul kembali dan memperkuat ikatan keluarga.

14 tahun absen

Banyak warga Suriah yang kembali ke tanah air mereka setelah jatuhnya rezim Assad dan pembebasan Suriah dari cengkeraman tirani. Banyak pula yang kembali saat Idul Fitri. Namun, siapa saja yang kembali, mengapa, dan apakah kepulangan ini bersifat permanen atau sekadar kunjungan?

Sebagian kembali dari Turki, sebagian lagi dari Eropa atau negara-negara Arab, khususnya Lebanon dan Yordania. Meskipun tidak ada statistik resmi, banyak orang kemungkinan kembali untuk waktu yang singkat. Terutama untuk mengetahui keadaan kampung halamannya dan mengunjungi kerabat mereka.

Di bandara dan pos perbatasan, wartawan bertanya kepada pendatang baru: “Sudah berapa lama sejak terakhir kali Anda datang?” Jawaban yang paling sering adalah: “Antara 12 dan 14 tahun.”

Pertanyaan berikutnya adalah: “Mengapa Anda kembali?” Jawaban yang paling umum adalah: “Untuk bertemu ibu atau ayah saya. Untuk bertemu dengan Suriah.”

Ribuan keluarga Suriah mengungsi secara paksa. Banyak anak muda lebih memilih ke pengasingan daripada bergabung dengan pasukan Assad untuk melawan rakyat mereka sendiri.

Beberapa di antara mereka telah kembali secara permanen. Terutama mereka yang tinggal di kamp pengungsi di Suriah utara. Sejak 8 Desember 2024, jalan antara wilayah yang dikuasai rezim dan wilayah yang dikuasai oposisi telah dibuka. Ini memungkinkan para pengungsi kembali ke desa mereka. Namun, sebagian besar tidak dapat kembali karena kondisi rumah mereka dan infrastruktur di sekitarnya yang hancur.

Sementara itu, para penghuni kamp Rukban, yang terletak di perbatasan Suriah-Yordania, di daerah terpencil dan tandus, telah kembali. Kamp ini menampung ribuan warga Suriah yang lebih suka hidup dalam kondisi yang keras daripada kembali ke daerah yang dikuasai rezim. Yang lainnya telah kembali dari negara-negara tetangga seperti Lebanon (di mana para pengungsi mengalami rasisms) dan Yordania.

Baca Juga

Demikian pula, banyak anak muda yang ingin membangun kembali negerinya bersama para investor yang ingin berinvestasi di negara mereka, juga telah kembali.

Tidak adil mengkritik mereka yang memilih untuk tinggal di kamp daripada kembali ke rumah. Lantaran Suriah saat ini tidak dapat dikenali lagi. Sarah, seorang warga Suriah yang kembali untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarganya, berbagi: “Ketika Anda melewati kota-kota yang hancur total, Anda tak dapat tidak bertanya-tanya apa yang terjadi pada orang-orang yang tinggal di sana.”

Menurut PBB, sekitar 2 juta warga Suriah masih tinggal di tenda-tenda di Suriah barat laut. Lebih dari empat bulan setelah jatuhnya rezim. Dalam laporan yang diterbitkan pada tanggal 18 Maret 2025, organisasi dunia tersebut mencatat bahwa sebagian kecil dari 1,95 juta orang yang mengungsi telah kembali ke desa mereka.

Hampir 1 juta dari mereka tidak melihat ada harapan untuk segera kembali karena kondisi rumah mereka yang belum bisa ditempati dan kurangnya layanan dasar di lingkungan rumah mereka. Namun, lebih dari 1 juta penghuni kamp akan kembali dalam waktu 12 bulan.

Kisah-kisah kepulangan

Noor meninggalkan Suriah pada usia 12 tahun. Kini kembali sebagai orang dewasa muda. Kenangannya tentang negara itu samar-samar dan diperkuat oleh kisah-kisah keluarga. Menghabiskan waktu sepekan di Idlib sebelum kembali ke Belanda, ia mengamati para keluarga mendirikan tenda di atas reruntuhan rumah mereka. Membangun kembali memang mahal. Tetapi rumah tetaplah rumah. Bahkan dalam reruntuhan.

Sementara Omar kembali ke Damaskus setelah 10 tahun di pengasingan, di Turki. Penilaiannya tentaang negaranya sangat buruk. “Semuanya sudah ketinggalan zaman. Transportasi umum, taksi, dan bahkan mobil pribadi berasal dari era lain. Damaskus terasa beku. Seperti  mundur ke masa lalu. Tanpa kemajuan atau pembaruan.”

Hiba, seorang warga Suriah yang telah tinggal di Turki selama 12 tahun. Ia bersukacita atas jatuhnya rezim. Tetapi merasakan sedikit kesedihan saat menemukan kembali kampung halamannya.

“Saya menghindar melihat foto-foto Damaskus selama bertahun-tahun. Namun setelah pembebasan, saya mulai mencari setiap gambar dan video Damaskus di media sosial. Mencoba mengingat nama-nama pasar, gang dan kafe. Bukan Damaskus yang berubah, saya yang lupa,” tuturnya.

Pada 17 Maret, Filippo Grandi, komisaris tinggi PBB untuk pengungsi, menekankan: “Dengan datangnya musim semi, berakhirnya Ramadhan, dan dimulainya tahun ajaran, kami berharap akan melihat lebih banyak pengungsi dan orang-orang terlantar kembali ke kota mereka.”

Menurut survei terbaru UNHCR, 80% pengungsi berharap dapat kembali suatu hari nanti. Sementara 27% berencana untuk kembali di tahun depan.

Suriah telah dibebaskan. Tetapi masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Sebelum semua anak-anak mereka dapat kembali ke rumah. Untuk selamanya. []

Sumber: dailysabah

Baca Juga