Catatan Abu Harits, Lc -غفر الله له ولواديه-
SALAM-ONLINE.COM: Pernahkah kita bayangkan sebelumnya, jika kita hidup terlantar di atas tanah milik kita sendiri yang dirampas oleh segerombolan penjahat? Mereka hanya menyisakan untuk kita lahan sempit dan jauh dari kata layak untuk dihuni.
Tidak berhenti sampai di situ. Mereka pun masih melancarkan serangan-serangan secara fisik dan psikis kepada kita di lahan sempit itu.
Itulah sebuah gambaran sederhana tentang apa yang dialami oleh rakyat Palestina hari ini. Negeri Palestina yang dahulu menjadi tanah air mereka. Sekarang ini telah dianeksasi oleh gerombolan jahat zionis yahudi.
Sejak tahun 1948 rakyat Palestina termarginalkan dan hanya menempati wilayah Gaza seluas 365 km2. Sementara di Tepi Barat secara de facto dikuasai penuh oleh penjajah zionis yahudi.
Kondisi saudara-saudara kita seiman di Gaza hari ini semakin diperparah lagi oleh serangan darat yang dilancarkan oleh pasukan zionis setiap harinya.
Menurut laporan beberapa media di Timur Tengah, Gaza hari ini menjadi tempat tanpa perlindungan. Jumlah penduduk warga Palestina di Gaza saat ini sekitar 1,7 juta jiwa. Mereka harus hidup di tempat-tempat pengungsian yang jauh dari kata layak.
Hari ini seluruh wilayah Gaza tidak aman karena serangan sporadis yang dilancarkan tantara penjajah zionis, baik melalui darat, laut dan udara. Lebih dari 80% wilayah Gaza mengalami kerusakan infrastruktur yang parah.
Kesedihan dan beban hidup mereka diperparah lagi dengan sifat diam dan tak acuhnya negara-negara Arab yang ada di sekitarnya. Juga Lembaga-lembaga internasional yang mediamkan terjadinya genosida menyasar rakyat Gaza-Palestina.
Di tengah kehidupan yang tertindas selama bertahun-tahun dan memilukan hati itu, rakyat Palestina, khususnya warga Gaza, masih tetap tabah dan sabar menjalani perjuangan hidup. Mereka mencoba bertahan hidup di atas tanah air mereka meskipun harus menghadapi bom-bom dan desingan peluru dari pihak tantara penjajah zionis yahudi.
Tiada hari di Gaza melainkan diselimuti dengan berita kematian anggota keluarga dan kerabat mereka. Di saat yang bersamaan banyak pula dari rakyat Palestina yang ditangkap dan disiksa di penjara-penjara secara sadis oleh pihak zionis penjajah.
Sejak serangan darat ke wilayah jalur Gaza oleh tentara “Israel” (IDF) pada Oktober 2023 lalu, banyak terjadi tragedi kemanusiaan yang dialami warga Gaza. Seperti dialami Hidayah, salah seorang ibu di Gaza. Seluruh keluarganya mengungsi dan meninggalkan rumahnya demi untuk mencari keselamatan hidup. Di saat bersamaan, ibu ini dalam kondisi hamil tua menjelang kelahiran buah hatinya.
Hidayah adalah salah satu dari ibu-ibu yang hendak menyelesaikan persalinan kelahiran putranya di RS Al Syifa yang terletak di Kawasan Rimal utara jalur Gaza.
Sebuah laporan jurnalistik menyebutkan bahwa serangan militer IDF menyasar RS Al Syifa di pertengahan November 2023. Di saat itulah, Hidayah sedang berjuang mati-matian melahirkan buah hatinya.
Di waktu yang hampir bersamaan ada pula seorang ibu yang harus melakukan persalinan dengan operasi cesar tanpa bius karena minimnya obat-obatan. Persis satu hari setelah persalinan bayinya, militer penjajah mengultimatum seluruh penghuni Rumah Sakit untuk mengosongkan area RS Al Syifa.
Tentu saja dengan menahan rasa sakit dan kepayahan, Hidayah dan ibu-ibu lainnya tidak memiliki pilihan lain kecuali hanya menuruti kemauan tantara agresor yahudi untuk pindah mengungsi ke bangunan sekolah yang juga sudah rusak infrastrukturnya.
Di saat kepahitan hidup yang dialami, Hidayah tak henti-henti mengucapkan rasa Syukur dan lantunan tahmid kepada Allah Ta’ala karena telah menganugerahi untuknya seorang putra. Ketika ditanya oleh salah seorang wartawan terkait masa depan hidupnya dengan buah hatinya, dengan yakin dia menjawab bahwa semua telah diurus oleh Allah Ta’ala.
Liputan berita lapangan lainnya menyaksikan derita pilu dan kesedihan yang menimpa Umi Ayyub. Sosok ibu yang harus merelakan kepergian anaknya yang kedelapan untuk selamanya karena terkena serangan bom dari tentara penjajah zionis. Umi Ayyub telah kehilangan suaminya dan seluruh anaknya. Ayyub adalah anak kedelapan. Sang Ibu sengaja menamai anaknya yang kedelapan ini dengan Ayyub dengan harapan anaknya dianugerahi kesabaran oleh Allah Ta’ala seperti Nabi Ayyub.
Sang Ibu mengingat betul dalam memorinya saat Ayyub senantiasa menyediakan air wudhu untuk dirinya. “Dia sering menyiapkan air wudhu untukku,” tutur sang Ibu. Melihat anaknya sudah tergeletak tak bernyawa, Umi Ayyub menengadahkan kedua tangannya di saat seluruh badannya masih terkena debu-debu reruntuhan bangunan yang diserang bom tentara IDF seraya berucap: “Ya Allah pilihlah diriku untuk menjadi syuhada menemani putra-putraku. Ya Allah saat ini arwah anak-anakku beterbangan dengan burung-burung di bawah ‘Arsy-Mu Ya Allah. Begitu juga saat ini anak perempuanku juga sedang menemani saudara-saudaranya di surga. Ya Allah jadikanlah mereka syuhada!”
Pengalaman yang tidak kalah beratnya dan penuh ketegangan pun juga dialami oleh Roja’ Hamdunah. Ibu dari 4 anak (Muhammad, Ahmad, Ibrahim dan seorang putri bernama Sana’) yang dengan izin Allah selamat dari gempuran tank Merkava milik penjajah zionis.
Roja’ bersama suaminya sudah sering kali berpindah-pindah tempat selama 15 tahun masa pernikahannya. Demi mencari keamanan dan menjaga keberlangsungan hidup keluarga kecilnya.
Lalu, untuk ke sekian kalinya, dia bersama keluarganya harus berpindah ke daerah pengungsian di wilayah Jabaliyah. Kamis, 6 Juni 2024 saat mentari mulai meredup sinarnya dan akan meninggalkan kegelapan di tanah Jabaliyah. Tiba-tiba terdengar dentuman besar yang menggelegar persis berdekatan dengan hunian sementara bagi keluarga Roja’. Serangan tank dan tembakan senjata artileri yang dimuntahkan secara sporadis mengguncang Kawasan pengungsian Jabaliyah.
Roja’ Hamdunah menuturkan sendiri apa yang dia alami dan saksikan dengan kedua matanya diiringi dengan rasa menahan deraian air mata:
“Saat itu aku sedang duduk bersama putriku (Sana’) dan secara tiba-tiba dentuman bom yang begitu keras mengguncang hunian kami. Aku pun bergegas memeluk dan berusaha melindungi putriku yang masih kecil. Dengan mengandalkan sisa kekuatan, aku mencoba berjalan di tengah kepulan asap dan debu untuk mencari keluargaku yang lain.
Tidak berselang lama. Terdengar desingan tembakan yang membabi buta mengarah ke kami. Secara reflek, aku tiarap sembari melindungi putriku. Aku tetap terus bergerak meskipun harus bertiarap demi menyelamatkan anggota keluargaku yang lain. Sambil tertatih-tatih dan dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku pun bertekad untuk memastikan keselamatan suamiku dan tiga anakku lainnya (Muhammad, Ahmad dan Ibrahim).
Dari puing-puing reruntuhan bangunan dan di antara api-api yang membakar tenda-tenda pengungsian Jabaliyah aku berusaha berjalan mengendap dan sesekali tiarap untuk melindungi diri dari tembakan-tembakan tantara zionis. Berkali-kali badanku terhuyung ke kanan dan ke kiri karena efek dari dentuman serangan artileri yang mengguncangkan tanah.
Beberapa langkah kemudian aku melihat suamiku sedang tertelungkup untuk berusaha melindungi ketiga anak laki-lakiku. Tubuh suamiku sudah penuh dengan darah, debu dan tanah. Sesaat kemudian terdengarlah suara tangisan anakku Ibrahim yang baru berusia 6 tahun. Aku pun segera merengkuh dan mendekapnya seraya mencoba untuk menenangkannya.
Sementara aku melihat kedua putraku lainnya (Muhammad dan Ahmad) sekujur tubuhnya bersimbah darah yang bercampur dengan debu dan tanah. Suamiku hanya berucap: ‘Maafkanlah aku wahai istriku, maafkanlah aku… Bagaimana keadaanmu dan anak-anak kita?’
Aku pun mengatakan: ‘Tidak apa wahai suamiku, Akram. Alhamdulillah, Allah masih memberikan banyak kenikmatan pada keluarga kita.’
Sesaat kemudian, aku hanya mendengar lantunan syahadat dan istighfar dari kedua bibir suamiku. Aku pun mencoba untuk menolong Muhammad dan Ahmad dari reruntuhan bangunan. Namun sungguh tidak disangka, di hadapanku secara tiba-tiba sebuah tank merangsek maju menggilas semua sisa-sisa bangunan dengan cepat. Sungguh aku pun tidak bisa berbuat banyak, hingga akhirnya aku melihat suamiku dan kedua anakku (Muhammad dan Ahmad) dilindas oleh tank tersebut.”
Roja’ pun mendadak tercekat diam. Seakan lisannya tak mampu lagi mengabarkan apa yang dia saksikan dari pemandangan yang menyayat hati. Pandangan matanya menerawang bayangan peristiwa kematian suaminya dan kedua putranya. Air matanya pun tak terbendung dan akhirnya mengalir deras di kedua pipinya.
Sembari menahan duka yang mendalam dan deraian air mata, Roja’ Hamdunah kembali melanjutkan kisahnya:
“Saat itu diriku juga tidak bisa bergerak leluasa, karena harus tetap mencoba melindungi sisa dari anggota keluargaku–anakku Ibrahim dan putriku Sana’. Tangan kiriku menggendong Sana’ dan tangan kananku menuntun Ibrahim untuk mencoba mencari jalan keluar dari kejaran tank.
Namun, tanpa kusadari, kaki kananku ternyata terkena proyektil. Darah keluar dengan deras dari kaki kananku. Namun –Alhamdulillah–aku tidak merasakan rasa sakit dan perihnya. Aku pun fokus untuk menyelamatkan kedua anakku yang tersisa. Bibirku tak henti-hentinya berucap ‘Ya Allah… Ya Allah…’ Aku coba untuk menguatkan hatiku.
Di Tengah desingan peluru dan dentuman bom, aku paksakan diri untuk tetap melangkah dan sesekali berlari-lari kecil ke arah yang tidak aku ketahui karena pekatnya asap dan debu yang berhamburan di sekitarku. Tanpa sepengetahuanku, putriku Sana’ mulai tidak bisa bernafas. Aku pun agak panik. Aku mencoba untuk memberikan bantuan pernafasan kepadanya, namun belum juga membuat putriku bernafas.
Di saat yang bersamaan laju tank lebih cepat bergerak menuju ke arahku dan kedua anakku. Saat itu juga sempat terlintas di benakku: ‘Ya Allah… apakah hari ini adalah hari terakhir bagiku dan keluargaku di dunia ini?!’ Aku pun pasrah dan berusaha untuk tetap mencoba menyelamatkan kedua buah hatiku yang tersisa.
Melihat tank yang melaju begitu cepat, aku pun berusaha lari sembari membawa kedua anakku. Namun, karena jalan dipenuhi oleh puing-puing reruntuhan bangunan, akhirnya kakiku tersandung dan diriku terjatuh tak berdaya. Aku hanya bisa mendekap kedua buah hatiku sambil terus memanggil nama Allah. Dan benar saja tank itu benar-benar melintas.
Alhamdulillah, saat itu ada beberapa bongkahan puing bangunan yang sedikit bisa menjadi penopang laju tank sehinga roda rantai tank tidak bisa menggilas tubuhku dan kedua buah hatiku. Akhirnya diriku dan kedua buah hatiku selamat dari ancaman tank.
Namun saaat itu putriku Sana’ masih belum bisa bernafas. Aku segera bangkit dan terus berjalan dan beberapa kali merayap sejauh kurang lebih 900 meter. Hingga akhirnya aku menjumpai beberapa warga Palestina lainnya. Mereka menolongku serta bergegas mengantarkanku dan kedua buah hatiku ke salah satu rumah sakit darurat lapangan di pinggiran Jaballiyah.
Alhamdulillah, putriku Sana’ akhirnya bisa bernafas kembali dan putraku Ibrahim bisa tertangani luka-luka di bagian punggungnya.”
Sejak peristiwa yang merenggut nyawa suami dan kedua anaknya tersebut, Roja’ Hamdunah tinggal bersama para warga Palestina lainnya di wilayah perbatasan Rafah.
Hingga saat ini, Roja’ Hamdunah terus berjuang untuk melawan penindasan dan penjajahan zionis “Israel” dengan menjadi guru bagi anak-anak yang ada di tenda pengungsian di perbatasan Rafah. Setiap harinya dia disibukkan dengan mengajar dan mendidik kader-kader pejuang kemerdekaan Palestina.
Wanita lulusan Universitas Islam Gaza fakultas pendidikan dan kemasyarakatan ini mendedikasikan hidupnya saat ini untuk memberikan pendidikan terbaik bagi kedua buah hatinya yang tersisa dan juga anak-anak Palestina lainnya yang tinggal di tenda-tenda pengungsian.
Hidayah, Umi Ayyub dan Roja’ Hamdunah adalah bagian kecil dari gambaran keteguhan dan kesabaran para ibu di jalur Gaza dan bumi Palestina. Di sana ada ratusan ribu atau bahkan jutaan kisah kepahlawanan dan kesabaran para ibu yang masih terus berjuang melawan agresi yahudi.
Dari kisah mereka nampak begitu jelas ikatan iman kepada Allah yang merajut harapan di masa depan. Mereka sadar bahwa iman kepada Allah adalah satu-satunya pegangan hidup. Tanpa itu, adalah sebuah kemustahilan bisa bertahan hidup di bawah penindasan yang tidak berperikemanusiaan.
Para ibu di Gaza-Palestina tahu betul bahwa perpaduan antara ilmu dan amal menjadi jalan penguat iman. Dari peristiwa demi peristiwa yang mereka lalui dan alami menyiratkan dan menyuratkan sebuah misi besar yaitu kegigihan untuk melahirkan generasi pejuang di setiap zamannya. Itulah legacy (warisan) yang hendak mereka tinggalkan di masa depan.
Di saat yang bersamaan, mereka senantiasa berharap mendapatkan akhir yang terbaik dari kehidupannya di dunia ini. “Husnul Khatimah” atau “mati syahid” di jalan Allah.
Semoga Allah merahmati dan memberkahi para ibu dan kaum Muslimin di Gaza-Palestina. []