Catatan Nizar Malisi*
SALAM-ONLINE.COM: Nama BlackRock bukanlah nama asing dalam dunia finansial global. Perusahaan ini dikenal sebagai salah satu kekuatan utama dalam industri dana kelolaan, khususnya dalam pengelolaan Exchange-Traded Fund (ETF).
Bersama dua raksasa lainnya, Vanguard dan State Street, BlackRock mendominasi pasar ETF global. Dari ketiganya, BlackRock menempati posisi teratas dalam hal total nilai aset yang dikelola. Meski di posisi teratas, BlackRock sebagian besar sahamnya dilaporkan juga dimiliki oleh Vanguard dan State Street.
Namun, kiprah BlackRock tidak lepas dari kontroversi. Perusahaan ini disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan sejumlah industri pertahanan yang diduga memasok persenjataan yang digunakan dalam perang (genosida) di Gaza.
BlackRock diketahui memiliki investasi besar di perusahaan-perusahaan seperti Lockheed Martin, RTX, Northrop Grumman, Boeing, dan General Dynamics — yang merupakan produsen utama persenjataan yang digunakan oleh “Israel”. Keterlibatan ini menuai gelombang protes. Tidak hanya di kantor pusat BlackRock di San Francisco, Amerika Serikat, tetapi juga di berbagai negara lain. Termasuk Prancis dan Malaysia. Di negeri jiran ini protes muncul atas kehadiran anak perusahaan BlackRock, Global Infrastructure Partners, dalam rencana pengelolaan 39 bandara di Malaysia.
Tak hanya dari masyarakat. Kecaman juga datang dari kalangan internasional. Pada Juni 2024, Independent Expert PBB, Special Rapporteurs, dan Working Groups bisnis dan ham asasi manusia, mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan agar perusahaan dan investor global, termasuk BlackRock, tidak terlibat dalam penyediaan atau pembiayaan senjata kepada “Israel”.
Beberapa perusahaan investasi seperti Amundi dan Union Investment dan yang lainnya merespons. Namun, tidak dengan BlackRock. Meski mereka juga tidak sendirian.
Di Indonesia sendiri, BlackRock sudah cukup lama menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mereka tercatat memiliki hubungan bisnis dengan BCA, GOTO, Adaro, Astra, Telkom, Antam, bahkan Bank Syariah Indonesia (BSI). Kehadiran BlackRock sudah cukup mengakar dalam ekosistem ekonomi nasional.
Lebih jauh lagi, Indonesia juga tercatat bukan hanya sekali melakukan impor produk dari “Israel”. Sepanjang tahun 2020, nilai impor tersebut mencapai USD 56,54 juta. Fakta ini mengindikasikan bahwa keterhubungan ekonomi Indonesia dengan entitas yang terkait konflik internasional perlu mendapat perhatian lebih serius dari publik.
Pertanyaannya kini, apa yang bisa dilakukan masyarakat menyikapi kondisi ini? Setiap individu memiliki peran, sekecil apa pun itu. Sikap kritis dan penolakan terhadap kehadiran entitas yang terlibat dalam praktik yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan adalah salah satu bentuk tanggung jawab moral.
Memang akan muncul pertanyaan: “Adakah alternatif selain BlackRock?” Namun, menghadirkan BlackRock dalam proyek strategis seperti Danantara justru memperkuat dominasi mereka di Indonesia dan memperluas cengkeraman sistem ekonomi yang sarat kepentingan kapitalisme global.
Dengan menolak keterlibatan BlackRock, kita turut berkontribusi dalam membatasi praktik monopoli dan mengedepankan etika dalam pembangunan ekonomi nasional.
*) Penulis adalah Jurnalis Salam-Online