Mimpi Bukan Hujah Syariat: Menjaga Kemurnian Agama dan Tugas Besar Umat
SALAM-ONLINE.COM: Dengan izin Allah, tahun 2025 ini kami dapat memenuhi undangan sebagai pembicara di perhelatan ahlusunnah paling fenomenal di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh Jabatan Mufti Negeri Perlis dan Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Negeri Perlis (MAIPs). Sebuah kehormatan sekaligus karunia Allah kepada kami dipercaya menjadi panelis dalam 2 slot program Perkampungan Sunnah Seri X tahun 2025 yang dilaksanakan di Masjid Alwi Kangar Perlis pada tanggal 9-11 Mei: Pertama, bertemakan Tazkiyatun Nafsi Mencerahkan Rohani bukan Membodohkan Diri. Kedua, bertemakan Mimpi Bukan Hujjah Syariat.
Fenomena sosial di tengah umat menjadikan mimpi tokoh atau oknum yang berjubah agama sebagai hujah syariat atau dasar hukum dalam Islam telah menimbulkan berbagai penyimpangan. Banyak umat yang tertipu oleh klaim tokoh-tokoh agama yang mendasarkan ajarannya pada mimpi tertentu, hingga mengabaikan tugas utama mereka dalam beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di muka bumi.
Saya menjadi panelis majelis perdana bersama Prof. Dr. Rozaimi Ramle yang dihelat pada sesi final Perkampungan Sunnah X di hadapan para tetamu agung: Raja Perlis dan Raja Isteri serta Raja Muda dan Isteri pada hari Ahad, 11 Mei 2025 lalu. Tulisan ini yang merupakan serian materi kajian Mimpi Bukan Hujah Syariat, akan membahas bahaya dari fenomena ini dan mengarahkan umat Islam kepada pandangan yang benar sesuai syariat.
Pendapat Para Ulama tentang Kedudukan Mimpi dalam Syariat Islam
Mimpi yang baik dapat menjadi bagian dari wahyu, seperti yang disebutkan dalam hadis yang sahih, sebelum syariat Islam disempurnakan pada haji wada’, namun itu bukan hujah syariat yang berdiri sendiri dalam Islam. Berikut adalah rincian pendapat para ulama tentang kedudukan mimpi dalam syariat, beserta rujukan sumber-sumber yang terpercaya:
- Mimpi Bukan Hujah Syariat
Sebagian besar ulama sepakat bahwa mimpi bukanlah hujah syariat dalam menetapkan atau mengubah hukum-hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Imam al-Nawawi berkata: “Jika mimpi sesuai dengan syariat, maka itu adalah kabar gembira dari Allah, tetapi jika bertentangan dengan syariat, maka tidak boleh dijadikan pegangan.” (Sharh Sahih Muslim, al-Nawawi, jilid 15, hal. 25)
Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah berkata: “Mimpi yang benar berasal dari Allah, namun itu bukan termasuk dasar-dasar agama yang dapat dijadikan pedoman kecuali jika sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasul.” (Majmu’ al-Fatawa, Ibn Taymiyyah, jilid 11, hal. 239)
Imam Ibn al-Qayyim menyebutkan bahwa mimpi tidak bisa dijadikan dasar hukum syariat, dan bisa berasal dari Allah, setan, atau dari pikiran sendiri. (Zad al-Ma’ad, Ibn al-Qayyim, jilid 1, hal. 187).
- Mimpi yang Baik sebagai Kabar Gembira, bukan Hukum
Rasulullah ﷺ bersabda: “Mimpi yang baik adalah salah satu dari empat puluh enam bagian dari kenabian.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari: 6987, dan Muslim: 2263)
Penjelasan Hadis: Para ulama memaknai bahwa mimpi ini adalah kabar gembira dari Allah kepada hamba-Nya yang shalih, tetapi bukan sebagai syariat. Ibn Hajar menjelaskan: “Maksud dari bahwa mimpi tersebut adalah bagian dari kenabian adalah bahwa mimpi tersebut seringkali sesuai dengan wahyu.” (Fath al-Bari, Ibn Hajar, jilid 12, hal. 362).
- Mimpi Bukan Dalil yang Mengikat (mulzim)
Imam al-Syafi’i berkata: “Jika seseorang melihat Nabi ﷺ dalam mimpi dan ia berkata kepadanya: ‘Aku telah menghalalkan bagimu sesuatu yang haram bagi dirimu,’ atau ‘Aku telah mengharamkan bagimu sesuatu yang sebelumnya halal,’ maka tidak boleh diikuti.” (Manaqib al-Syafi’i, al-Bayhaqi, jilid 2, hal. 297)
Imam Al-Qurtubi berkata: “Mimpi bukanlah jalan untuk mengetahui hukum-hukum syariat, melainkan hanya untuk beberapa peringatan dan kabar gembira.” (Tafsir al-Qurtubi, jilid 15, hal. 223).
- Syarat-Syarat Mimpi yang Sah
- Mimpi harus sesuai dengan syariat dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
- Mimpi harus jelas dan benar.
- Mimpi tidak boleh digunakan untuk mengubah hukum-hukum syariat atau menciptakan hukum baru.
Imam Az-Zarkasyi dalam Al-Bahr Al-Muhith fi Ushul Al-Fiqh (8/118) menyatakan:
“Pendapat yang benar adalah bahwa mimpi tidak menetapkan hukum syariah atau menjadi bukti hukum. Meskipun mimpi Nabi ﷺ adalah benar dan setan tidak bisa menyerupainya, orang yang bermimpi bukanlah ahli dalam menerima atau meriwayatkan (informasi), karena ketidaktelitiannya. Adapun mimpi tentang azan yang diriwayatkan, dan Nabi ﷺ memerintahkan untuk melakukannya, bukanlah mimpi itu sendiri yang menjadi hujah, tetapi perintah Nabi ﷺ dalam hal itu yang menjadi dasar hukum.”
Al-‘Allamah Ad-Damiri Asy-Syafi’i dalam kitab An-Najm Al-Wahhaj fi Syarh Al-Minhaj (3/274) menyatakan:
“Cabang: Jika seseorang berkata, ‘Aku bermimpi melihat Nabi ﷺ dan beliau memberitahuku bahwa malam ini adalah awal Ramadan,’ maka puasa tidak sah berdasarkan mimpi tersebut, baik bagi orang yang bermimpi maupun orang lain, menurut ijmak (kesepakatan ulama), sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh.”
- Mimpi di Kalangan Sahabat dan Tabi’in
Para sahabat akan memperhatikan mimpi jika sesuai dengan syariat, tetapi mereka tidak menjadikannya dasar dalam legislasi. Contoh: Mimpi Abdullah ibn Zayd tentang azan yang kemudian disahkan oleh Nabi ﷺ (Sunan Abi Dawud: no.499). Mimpi sahabat Nabi tersebut divalidasi menjadi syariat agama Islam setelah mendapatkan IQRAR (penetapan) Nabi Muhammad saw.
Pandangan Imam Malik:
Imam Malik berkata: “Siapa pun yang mengklaim bahwa mimpi dapat digunakan dalam menetapkan hukum-hukum syariat, kami katakan kepadanya: Kenabian telah terputus setelah Rasulullah ﷺ.” (Al-Mudawwanah al-Kubra, jilid 1, hal. 12).
- Peringatan terhadap Ketergantungan Berlebihan pada Mimpi
Imam al-Suyuti berkata: “Mimpi bukanlah wahyu dan tidak boleh dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum.” (Tawīr al-Hawalik, al-Suyuti, jilid 2, hal. 305)
Imam Al-Nawawi memperingatkan agar tidak mengikuti mimpi yang bertentangan dengan syariat, karena hal itu bisa jadi merupakan tipu daya dari setan. (Sharh Sahih Muslim, al-Nawawi, jilid 15, hal. 25)
Bahaya Mimpi dalam Penyimpangan Agama
Mengapa mimpi/ru’ya dianggap berbahaya bagi agama Islam dan dapat menyebabkan penyimpangan agama? Hal itu dikarenakan:
- Menetapkan Aturan Agama tanpa Landasan
Banyak tokoh agama yang mengklaim mimpi tertentu sebagai dalil untuk menetapkan ajaran baru. Fenomena ini sangat berbahaya karena dapat menciptakan aturan yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga berpotensi menyesatkan umat.
- Mengagungkan Diri dan Ajaran
Sebagian pemimpin atau tokoh agama menggunakan mimpi untuk mengagungkan diri sendiri, gurunya, atau ajarannya. Mereka mengklaim bahwa mimpi tersebut adalah bentuk wahyu atau ilham petunjuk khusus dari Allah. Klaim seperti ini sering kali menjerumuskan umat dalam kesesatan dan kultus individu yang menumpulkan daya inovasi dan kreatifitas peradaban umat.
- Melalaikan Tugas Utama Umat
Ketergantungan pada mimpi membuat umat menjadi lalai dalam tugas mereka sebagai hamba Allah yang seharusnya fokus beribadah dan sebagai khalifah yang bertanggung jawab memakmurkan bumi. Mereka lebih sibuk mengejar “petunjuk” dalam mimpi daripada bekerja nyata untuk meningkatkan kualitas hidup umat.
Bahaya Sosial dan Spiritual
Ketergantungan pada mimpi tidak hanya merusak akidah tetapi juga menciptakan bahaya sosial. Beberapa dampak yang terlihat: a) Melemahkan Kritisisme Umat: Umat menjadi mudah tertipu oleh klaim-klaim tokoh agama yang tidak bertanggung jawab. b) Mendorong Takhayul: Keyakinan berlebihan pada mimpi menciptakan kepercayaan yang tidak rasional dan menjauhkan umat dari landasan agama yang sahih. c) Memecah Belah Umat: Klaim mimpi sering kali menimbulkan perpecahan karena ada kelompok yang mendukung dan menentang klaim tersebut.
Fokus Umat: Mewujudkan Mimpi Agung Nubuat Rasulullah
Daripada bergantung pada mimpi individu, umat Islam seharusnya fokus pada realisasi mimpi-mimpi besar yang telah dinubuatkan oleh Rasulullah SAW, yaitu kemenangan Islam di akhir zaman. Rasulullah SAW bersabda, “Islam akan terus berjaya hingga mencapai setiap tempat yang terkena siang dan malam.” (HR. Ahmad). Berikut ini adalah beberapa riwayat sunnah yang menerangkan mimpi-mimpi besar Rasulullah saw di antaranya:
- Penaklukan Roma dan Baitul Maqdis
“Kalian pasti akan menaklukkan Konstantinopel dan Roma.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 2/176, Hadis Hasan menurut banyak ulama).
“Akan datang suatu masa ketika bumi seluruhnya dikuasai oleh kaum Muslimin.” (HR. Muslim, no. 2923).
“Kaum Muslimin akan menaklukkan Baitul Maqdis dan menjadikannya pusat pemerintahan.” (Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, dan Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir).
- Penaklukan Konstantinopel
“Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad, no. 18189).
Untuk itu, umat Islam harus fokus bekerja keras, cerdas dan tuntas: 1. Memperbaiki Nasib Umat, Umat Islam perlu bekerja keras memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan politik mereka agar mampu menjadi contoh bagi dunia. 2. Memperkuat Ibadah dan Akhlak, Dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, umat Islam dapat membangun kekuatan spiritual yang menjadi landasan kemenangan. 3. Berperan Sebagai Khalifah, Umat Islam memiliki tanggung jawab besar untuk memakmurkan bumi dan menegakkan keadilan.
Kesimpulan
Mimpi bukanlah hujah syariat, dan menjadikannya dasar agama dapat menimbulkan berbagai penyimpangan. Umat Islam harus berhati-hati terhadap klaim tokoh agama yang menggunakan mimpi untuk melegitimasi ajarannya. Sebaliknya, umat harus kembali kepada landasan syariat, menjalankan tugas mereka sebagai hamba Allah, dan mengejar mimpi besar yang telah dijanjikan Rasulullah SAW, yaitu kemenangan Islam di akhir zaman. Dengan cara ini, umat Islam dapat membangun masa depan yang lebih baik sesuai dengan tuntunan agama.
Visi nubuat Rasulullah tentang kemenangan Islam telah terbukti di masa keemasan para sahabat dan salafussoleh yang fokus membangun kekuatan spiritual dan material. Mereka berhasil menaklukkan imperium besar seperti Romawi dan Persia, serta banyak wilayah lainnya yang akhirnya tunduk di bawah panji Islam. Visi ini juga mencakup penaklukan Roma (Vatikan) sebagai pusat agama Katolik dunia dan penaklukan kembali Baitul Maqdis untuk kedua kalinya di akhir zaman. Ini menjadi motivasi besar bagi umat Islam untuk kembali bersatu, memperkuat iman, dan mempersiapkan diri secara fisik serta spiritual untuk merealisasikan janji kemenangan ini di masa depan.
Penulis: Fahmi Salim
*Penulis adalah Direktur Al-Fahmu Institute dan Ketua Divisi Tabligh Global dan Kerjasama Majelis Tabligh PP Muhammadiyah