Pasca Bebasnya Alexander, Media Zionis ‘Curhat’: Netanyahu Bilang ‘Israel’ Harus Mulai Setop Bantuan AS

SALAM-ONLINE.COM: Media “Israel”, Yedioth Ahronoth, Jumat (16/5/2025) mencurahkan opininya. Ungkapannya seperti “curhat” kepada pembacanya, tak lama setelah sandera berkewarganegaraan ganda Amerika-“Israel”, Edan Alexander dibebaskan Hamas.
Berukut “curhatan”-nya:
Foto-foto dan laporan seputar pembebasan Edan Alexander sungguh surealis (kontradiktif, antara mimpi dan kenyataan). Diculik sebagai tentara “Israel”, ia dibebaskan karena kewarganegaraan AS-nya.
Ketika muncul, dia mengenakan syal Bintang David dan Bintang Garis. Percakapan pertamanya dengan Benjamin Netanyahu dimediasi oleh seorang utusan Amerika. Bahkan namanya terasa terbelah—seperti sesuatu yang diambil dari sebuah novel, dengan nama depan “Israel” (Edan) dan nama belakang yang melintasi batas negara (Alexander).
Meskipun nampak suram, perkembangan ini pada akhirnya mungkin menguntungkan “Israel”—tetapi tidak mungkin untuk mengabaikan fakta bahwa, bahkan di bawah Trump, “Israel” tidak dilibatkan dalam perundingan. Termasuk dalam masalah-masalah yang menjadi kepentingan utamanya.
Sebelas tahun lalu, ketika Barack Obama mengejar kesepakatan nuklir dengan Iran, ia melakukannya di belakang “Israel”. Joe Biden, ketika menghentikan pengiriman senjata ke “Israel”, setidaknya ragu untuk mengatakannya dengan lantang. Tapi sekarang, pemerintahan Trump tidak berusaha menyembunyikan ketidaksabarannya dengan menunda (aksi) “Israel” di Gaza.
Kegagalannya menaiki kereta menuju “Timur Tengah baru” sedang dibentuk Presiden Trump—dengan keterlibatan (pemimpin) regional secara langsung, tanpa melibatkan “Israel”.
Di masa lalu, para pemimpin “Israel” berhasil menavigasi diplomasi AS. Bahkan saat ada ketegangan. Netanyahu sendiri sering membanggakan penerapan doktrin tekanan Jabotinsky—ke Biden, Obama, bahkan Clinton.
Sebagai pemimpin oposisi, Netanyahu pernah mengkritik mantan perdana menteri Naftali Bennett karena gagal mengatakan “tidak” kepada Biden.
Namun, Netanyahu kini juga tampaknya memahami bahwa sesuatu yang mendasar telah berubah. Dalam sesi Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan Knesset baru-baru ini, ia mengakui bahwa “Israel” harus mulai menghentikan bantuan Amerika. Pengakuan serius atas berakhirnya perjanjian senjata era Obama, yang kemungkinan akan menjadi perjanjian terakhir dalam waktu dekat. Terutama mengingat arah kebijakan independen pemerintahan Trump.
Kita telah kehilangan pengaruh kita
Dulu, ketika keretakan muncul antara Tel Aviv dan Washington, “Israel” dapat mengandalkan saluran alternatif—jika bukan Kongres, maka Senat; jika bukan donor, maka pemilih. Paling tidak, “Israel” memiliki kesatuan internal.
Namun hari ini, di bawah Trump, “Israel” bertaruh pada kekalahan Biden tanpa memahami bagaimana Partai Republik—dan lingkaran dalam Trump—telah berubah.
Tanpa menyadarinya, kita telah mendekati hari ketika “Israel” tidak akan lagi dapat berkata “tidak” kepada Amerika, atau memberikan tekanan dari dalam negerinya.
Suatu hari, sebuah komisi penyelidikan mungkin akan menyelidiki apa yang memicu perang—tetapi “Israel” juga harus bertanya apa yang terjadi selama perang, dan bagaimana kita kehilangan AS.
Video mengerikan dari 7 Oktober masih membekas di hati kita. Tetapi mata Amerika sekarang hanya melihat puing-puing Gaza.
Presiden Trump telah mengusulkan perombakan total Gaza. Termasuk migrasi sukarela sementara—namun, “Israel” tidak siap untuk itu.
“Israel” bermain Scrabble dengan Hamas. Alih-alih menghancurkan kelompok teror itu, “Israel” malah (dibuat) untuk berharap adanya gencatan senjata—sebagian untuk para sandera, sebagian lagi untuk ketenangan koalisi.
Jadi, bahkan dalam perang untuk memperebutkan masa depannya pun, “Israel” semakin mendekati hari di mana kita tidak bisa lagi berkata “tidak” kepada Amerika Serikat. (is)