Pembersihan Jiwa: Mencerahkan Ruhani Bukan Membodohkan Diri

SALAM-ONLINE.COM: Salah satu tema yang dibahas dalam sesi kajian program Perkampungan Sunnah Seri X di Kerajaan Negeri Perlis adalah konsep ‘Tazkiyatun Nafsi’ sebagai sarana mencerahkan ruhani, bukan membodohkan diri. Saya mengisi sesi tersebut bersama Ustadz Dr. Saidul Amin, Rektor Universitas Muhammadiyah Malaysia (UMAM) yang sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) Pekanbaru pada hari Sabtu 10 Mei 2025 jam 09.30 pagi waktu setempat di Masjid Alwi Kangar, Perlis.

Tasawuf di antara Tazkiyah dan Ihsan

Istilah tasawuf sebagai konsep tidak muncul pada masa awal Islam, melainkan baru dikenal pada akhir abad kedua Hijriah dan awal abad ketiga Hijriah. Dalam Al-Qur’an, ia disebut sebagai tazkiyah (penyucian) dalam ayat-ayat berikut: Al-Baqarah: 129, 151, Ali Imran: 164, Al-Jumu’ah: 2, sementara dalam Sunnah disebut sebagai ihsan (kesempurnaan) dalam hadis Jibril A.S tentang Iman-Islam-Ihsan (Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah R.A.; Riwayat Muslim dari Umar ibn al-Khattab R.A.). Sebagian juga menyebutnya sebagai ilmu batin, sebagai lawan dari ilmu zahir. Tidak ada perdebatan mengenai istilah ini selama maknanya jelas dan isinya dipahami dengan baik.

Hakikat Tasawuf

Jika kita meninjau secara singkat definisi tasawuf dari para ulama pada masa awal, kita menemukan bahwa tasawuf berpusat pada peningkatan dari aspek basyariyah (manusia fisik) ke aspek insaniyah (kemanusiaan), kemudian menuju kesempurnaan insaniyah, yaitu ihsan. Definisi-definisi ini sudah sangat terkenal dan dapat ditemukan di hampir semua literatur yang membahas tasawuf.

Beberapa definisi dari ulama mutaqaddimin meliputi:

  • Ma’ruf Al-Karkhi (w. 200 H): “Tasawuf adalah berpegang pada kebenaran dan berputus asa dari apa yang ada di tangan makhluk.”
  • Bisyr Al-Hafi (w. 227 H): “Seorang sufi adalah orang yang hatinya bersih untuk Allah.”
  • Sahnun Al-Muhibb (w. 297 H): “Tasawuf adalah tidak memiliki sesuatu dan tidak dimiliki oleh sesuatu.”
  • Imam Junaid Al-Baghdadi:
    • Beliau adalah figur penting dalam sejarah tasawuf yang merumuskan prinsip-prinsipnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
    • Definisi tasawuf menurutnya:
      • “Tasawuf adalah bersama Allah tanpa hubungan (duniawi); zikir dengan kebersamaan, rasa dengan pendengaran, dan amal dengan mengikuti (syariat).”
      • “Seorang sufi itu seperti tanah; menerima segala keburukan, tetapi hanya menghasilkan yang baik.”
      • “Tasawuf adalah keadaan di mana Allah memilihmu untuk menjadi murni. Barang siapa yang dimurnikan dari segala sesuatu selain Allah, dia adalah seorang sufi.”

Imam Junaid juga dikenal dengan perkataannya yang terkenal:
“Jika kalian melihat seseorang terbang di langit atau berjalan di atas air, jangan pedulikan dia sampai kalian mengukur perbuatannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”

Tazkiyah dalam Al-Qur’an

Tazkiyah disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai salah satu tugas utama para nabi. Allah berfirman:

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, menyucikanmu (yuzakkiikum), mengajarkan kepadamu Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 151).

Penjelasan Tazkiyah menurut Tafsir Syaikh Abdurrahman As-Sa’di: Allah menyucikan akhlak dan jiwa manusia dengan mendidiknya pada akhlak yang mulia dan menjauhkannya dari akhlak tercela. Contohnya adalah: Dari syirik menuju tauhid. Dari riya menuju keikhlasan. Dari kebohongan menuju kejujuran. Dari kesombongan menuju kerendahan hati. Dari kebencian menuju kasih sayang.

Tazkiyah sebagai Salah Satu Tujuan Utama Syariat

Menurut Dr. Thaha Jabir Al-Alwani dalam bukunya Tauhid, Tazkiyah, dan ‘Umran, tazkiyah adalah salah satu dari tiga tujuan utama (maqashid) syariat Islam. Tujuan tersebut adalah: 1. Tauhid: Hak Allah sebagai Sang Pencipta. 2. Tazkiyah: Proses penyucian manusia sebagai persiapan untuk menjalankan peran kekhalifahan. 3. Umran: Membangun peradaban sebagai hak alam semesta yang ditundukkan untuk manusia.

Ketiga tujuan (maqashid) ini bersifat mutlak, universal, dan pasti, serta bersumber sepenuhnya dari Al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam membentuk nilai-nilai dan aturan. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain.

Tauhid tanpa tazkiyah dan umran ibarat konsep yang bagus di atas kertas tanpa perwujudan dan penerapan yang ril dan tidak bisa dirasakan manisnya oleh umat manusia. Ia tak ubahnya seperti klaim Yahudi yang mengklaim punya ilmu dari kitab para nabi bani Israil tapi berujung kepada kekerasan hati, eksklusifitas kelompok, kesombongan diri yang memperbudak bangsa lain dan berujung pada kemurkaan Allah (al-maghdhub ‘alayhim).

Tazkiyah tanpa landasan tauhid yang teguh dan umran yang produktif, ia tak ubahnya seperti praktik kaum Nashara yang mengklaim kedekatan pada Tuhan, merekayasa peribadatan (rahbaniah) yang tidak pernah diwahyukan oleh Allah dan spiritualitas yang menyimpang dari tauhid serta menjauhi kehidupan dunia nyata. Singkatnya terjerumus pada kesesatan (al-dhaallin).

Aktivitas Umran (pembangunan fisik peradaban) tanpa dipandu oleh tauhid dan ditata oleh tazkiyah (kekuatan moral dan jiwa yang bersih), ia hanya akan mengarah kepada ateisme, liberalisme dan sekularisme yang dapat menghancurkan peradaban manusia dengan kejahilan, ketamakan diri, kezaliman dan semua tindakan yang melampaui (thugyan).

Rencana Global untuk Mendirikan “Agama” Baru

Saat ini, terlihat adanya rencana global untuk memaksakan “agama” baru pada umat Islam. Ciri-cirinya adalah: Al-Qur’an tanpa Sunnah, mushaf tanpa senjata, spiritualitas/kerohanian tanpa amal, akidah tanpa ibadah, dan toleransi tanpa kekuatan. “Agama” baru ini adalah bentuk kepasrahan kepada kehendak musuh-musuh umat ini. Mereka menyerang prinsip-prinsip dasar akidah ini, landasan syariat, dan ajaran pokok agama, setelah gagal dalam upaya mereka selama ini untuk membatasi Islam hanya pada masjid, ritual, dan ibadah formal, serta menjauhkannya dari kehidupan dan peranannya sebagai pemimpin peradaban.

Hari ini, mereka menghabiskan miliaran uang untuk menghalangi manusia dari jalan Allah dan mencoba membelokkannya. Mereka ingin memaksakan “agama” yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, tidak dikenal oleh para sahabat maupun para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik. Namun, selama kita tetap teguh dalam agama kita, menjaga kebenaran dan ajarannya, maka janji Allah tetap berlaku: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menginfakkan harta mereka untuk menghalangi manusia dari jalan Allah. Maka kelak mereka akan menginfakkannya, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan akhirnya mereka dikalahkan. Dan orang-orang kafir itu akan dikumpulkan ke neraka Jahanam.” (QS. Al-Anfal: 36).

Manifestasi “Agama” Baru

Keinginan “terencana” ini muncul dalam berbagai bentuk, di antaranya:

Baca Juga
  1. Merusak Prinsip-Prinsip Syariat: Menyerang hal-hal yang sudah pasti dalam agama (ma‘lum min ad-din bi ad-darurah).
  2. Meragukan Sunnah dan Para Perawinya: Upaya untuk melemahkan otoritas Sunnah serta integritas para perawi dan ulama yang mengembangkannya.
  3. Mempromosikan Oknum Ulama yang Tidak Memahami Islam: Mengangkat “ulama” yang hanya mengenal Al-Qur’an dari tulisannya, tanpa memahami esensinya, dan hanya mengenal Islam sebatas simbol, yang menyebarkan keraguan dan menyesatkan umat dengan argumen yang tampak menarik.
  4. Mendorong Tasawuf yang Melemahkan Islam: Mengampanyekan tasawuf yang menghilangkan vitalitas Islam, nilai-nilai pendidikannya, dakwah, dan jihadnya, sehingga menjadikan Islam hanya sebagai agama spiritual yang jinak, tanpa semangat perjuangan dan jihad.

Serangan ini bertujuan untuk menciptakan versi Islam yang tunduk dan tidak mampu menghadapi tantangan zaman.

Ciri-Ciri “Agama” Baru

Salah satu bukti nyata rencana untuk membentuk “agama” baru adalah laporan yang diterbitkan oleh lembaga penelitian RAND, yang berada di bawah Angkatan Udara Amerika Serikat dengan anggaran tahunan sekitar 150 juta dolar. Laporan ini diterbitkan pada 26 Maret 2007, terdiri dari 217 halaman dengan sepuluh bab, yang membahas strategi menghadapi “umat Muslim”, bukan hanya “kelompok Islamis”, di masa depan.

Bahaya laporan ini tidak hanya terletak pada keberaniannya mengusulkan gagasan baru untuk menghadapi umat Muslim dan mengubah keyakinan serta budaya mereka dari dalam atas nama “moderasi” dalam pengertian Amerika. Tetapi juga, laporan ini memanfaatkan pengalaman sebelumnya dalam menghadapi komunisme sebagai referensi untuk melawan Islam dan umat Muslim, dengan tujuan menciptakan Muslim yang “moderat”.

Definisi Muslim Moderat Menurut Perspektif Amerika

Menurut laporan tersebut, Muslim “moderat” yang dimaksud adalah mereka yang: 1. Menolak penerapan syariat Islam. 2. Mendukung kebebasan perempuan dalam memilih “pasangan”, bukan hanya suami. 3. Mendukung hak minoritas agama untuk menduduki jabatan tinggi di negara-negara mayoritas Muslim. 4. Mendukung aliran liberal. 5. Mengakui hanya dua aliran agama Islam: Aliran tradisional: Orang-orang yang menjalankan ibadah shalat secara biasa tanpa keterlibatan lebih lanjut dalam isu agama lainnya. Aliran tasawuf: Mereka menggambarkan kelompok ini sebagai yang menerima ibadah di kuburan (dengan bungkus ziarah kubur yang dianjurkan Nabi).

Tes untuk Menentukan Muslim Moderat

Laporan tersebut menyusun 11 pertanyaan untuk mengidentifikasi apakah seseorang termasuk dalam kategori Muslim moderat menurut perspektif Amerika. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencakup: Apakah demokrasi dimaknai sesuai dengan definisi Barat? Apakah Anda menentang prinsip “Negara Islam”? Apakah Anda setuju bahwa penerapan syariat adalah garis pembeda antara Muslim moderat dan ekstremis? Apakah Anda memandang peran perempuan sesuai dengan realitas modern, bukan seperti di zaman Nabi Muhammad ﷺ? Apakah Anda mendukung atau pernah mendukung kekerasan? Apakah Anda menerima demokrasi dalam arti luas, termasuk hak asasi manusia ala Barat (termasuk hak-hak LGBTQ, dan lainnya)? Apakah Anda memiliki pengecualian terhadap prinsip demokrasi, seperti kebebasan seseorang untuk pindah agama? Apakah Anda percaya pada hak seseorang untuk berganti agama? Apakah Anda setuju negara hanya menerapkan aspek hukum perdata (muamalat) dari syariat, bukan hukum pidananya (jinayat)? Apakah Anda setuju syariat dapat diterapkan dalam kerangka sekular? Apakah Anda setuju minoritas dapat menduduki jabatan tinggi? Apakah Anda setuju non-Muslim dapat dengan bebas membangun tempat ibadah di negara Muslim?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah seseorang dikategorikan sebagai “moderat” (menurut perspektif Amerika) atau sebagai ekstremis.

Laporan ini menyebutkan tiga jenis individu yang dianggap sebagai “moderat” dalam dunia Islam:

  1. Sekuler liberal: Mereka yang tidak mempercayai adanya peran agama dalam kehidupan publik.
  2. Penentang ulama tradisional: Kelompok ini mencakup apa yang disebut laporan sebagai “pengikut Ataturk” (pendukung sekularisme Turki) dan sebagian individu di Tunisia.
  3. Islamis yang tidak melihat masalah dalam konflik antara demokrasi Barat dengan Islam.

Selain itu, laporan ini secara jelas menyatakan bahwa kelompok yang dianggap sebagai “moderat” adalah: 1. Mereka yang melakukan ibadah di kuburan (dengan bungkus ziarah kubur). 2. Para penganut tarekat tasawuf. 3. Orang-orang yang tidak aktif atau tidak terlibat dalam ijtihad keagamaan.

Laporan tersebut mengalokasikan bagian besar (dua dari sepuluh bab) untuk menekankan pentingnya memusatkan perhatian pada “pinggiran” dunia Islam sambil mengabaikan “pusatnya” (yang dimaksud adalah wilayah Arab). Tujuannya adalah untuk mendukung apa yang disebut sebagai “moderasi di pinggiran dunia Islam,” khususnya di Asia, Eropa, dan wilayah lain.

Hubungan Tasawuf dalam Sejarah dengan Jihad dan Ijtihad

Meninjau sejarah tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), yang kemudian dikenal pada abad ketiga Hijriah sebagai “tasawuf,” menunjukkan bahwa para pelopor pemikiran, tokoh pembaruan (tajdid), pemimpin reformasi (islah), dan komandan jihad dalam umat ini sepanjang sejarahnya berasal dari kalangan yang menjadikan penyucian jiwa dan kezuhudan sebagai mitra, bahkan bahan bakar, untuk gerakan dakwah, reformasi, pembaruan, dan jihad mereka.

Senarai nama mujtahid dan mujahid agung seperti Imam Hasan al-Bashri, empat Imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad), Junaid al-Baghdadi, Abu Hamid Al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, Sultan Nuruddin Zanki, Sultan Salahuddin Ayyubi, al-‘Izz bin Abdissalam, Ibnu Taymiah, Ibnul Qayyim al-Jauziah, Sultan Saifuddin Qutuz, Zahir Baybars, Sultan Muhammad II  al-Fatih dan lain-lain di masa klasik dan Syaikh Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Ridha, Izzuddin al-Qassam, Abdul Qadir al-Husaini, Umar al-Mukhtar, Raja Faisal bin Abdul Aziz Al-Sa’ud dan lain-lain di era modern. Telah membuktikan menyatunya tazkiyah dengan gerakan jihad dan ijtihad ummat Islam sepanjang masa.

Kita harus mengembalikan pemahaman ini kepada posisi yang benar, dan dengan tegas serta jelas menyatakan bahwa gerakan tasawuf sejati dalam sejarah gemilang kita tidak bertujuan untuk mendirikan “agama” baru yang terdistorsi bentuk maupun isinya. Sebaliknya, tasawuf ini merupakan ekspresi dari agama yang benar sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Tasawuf selalu terhubung dengan para ulama dan zu’ama besar yang berperan sebagai pembaru, reformis, dan pejuang; memperkuat pembangunan manusia berjiwa misi, serta mendorong efektivitas manusia dalam membangun peradaban kemanusiaan. Itulah tujuan utama tazkiyah yang dicapai dalam umat dan kemanusiaan setelah ia terealisasi sebagai tujuan luhur yang mengatur.

Kita harus menolak rencana jahat dan terkutuk ini, dan setiap ulama yang memiliki rasa tanggung jawab harus berdiri teguh dalam mempertahankan persoalan ini. Mereka harus mengajukan pandangan yang menyeluruh dan kritis terhadap isu penting ini, menyelesaikan persoalan terkait istilah, konsep, serta beberapa masalah lainnya, serta menjelaskan kontribusi tazkiyah dalam pembentukan para ulama pembaru, pemimpin reformis, dan pejuang, baik di masa lalu maupun masa kini.

Selain itu, para ulama harus mengupayakan bagaimana praktik tazkiyah dapat diterapkan dalam konteks realitas modern dengan segala hambatan dan tantangannya. Mereka juga harus melihat secara adil terhadap berbagai upaya kontemporer yang dilakukan dalam konteks ini, serta menunjukkan manfaat yang dapat diambil darinya. Adapun bahasa dan sastra juga memiliki pengaruh besar dalam mendidik jiwa, menyucikannya, dan menghubungkannya dengan akidah Islam serta syariat yang luhur.

Para ulama harus terus berjaga di garis depan Islam, baik dalam akidah, akhlak, maupun syariat, sehingga tidak ada celah yang dapat digunakan untuk merusak agama ini. Islam harus tetap terjaga di dalam akal dan hati umat sebagaimana ia tertulis dalam kitab suci. Inilah misi para ulama dalam kehidupan ini sebagai pewaris dan penjaga kenabian. Mereka bertugas untuk memperkuat prinsip-prinsip agama, menjelaskan persoalan dan konsep, memperbarui pemahaman, serta mendorong gerakan dakwah, pendidikan (tarbiyah), dan jihad yang selalu didampingi oleh tazkiyatun nafs melalui proses pengosongan dari keburukan (takhliyah), pengisian kebaikan (tahliyah), dan perwujudan akhlak mulia (tajalliyah). Allahu a’lam bil-shawab.

Penulis: Fahmi Salim
*Penulis adalah Direktur Al-Fahmu Institute dan Ketua Divisi Tabligh Global dan Kerjasama Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

Baca Juga