Trump Cabut Sanksi AS terhadap Suriah, Pukulan Lagi untuk ‘Israel’

SALAM-ONLINE.COM: Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa pihaknya mencabut sanksi terhadap Suriah pada Selasa (13/5/2025), dilansir dari Middle East Eye (MEE), Rabu (14/5).

“Saya akan memerintahkan penghentian sanksi terhadap Suriah untuk memberi mereka kesempatan agar meraih kejayaan,” kata Trump di tengah tepuk tangan meriah dalam pidatonya di ibu kota Arab Saudi, Riyadh, Selasa.

Trump mengatakan bahwa ia melobi Putra Mahkota Mohammad bin Salman dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk mencabut sanksi AS.

Ia pun melanjutkan pidatonya dengan nada bergurau. Oh, apa pun yang saya lakukan adalah demi putra mahkota,” candanya merujuk pada Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman (MBS).

Jika Trump menepati janjinya sepenuhnya, itu akan menandai pertama kalinya Suriah tidak berada di bawah sanksi AS sejak 1979. Ketika itu AS melabeli Damaskus sebagai negara sponsor “terorisme” di bawah rezim Hafez Assad, ayah Basyar Assad.

“Kami akan mencabut seluruhya,” kata Trump mengacu pada seluruh sanksi.

“Ada pemerintahan baru (Suriah) yang diharapkan akan berhasil,” kata Trump dalam pengumumannya.

“Saya ucapkan semoga sukses, Suriah. Tunjukkan kepada kami sesuatu yang istimewa.”

Menteri Luar Negeri Suriah As’ad al-Shibani mengatakan pengumuman Trump itu akan memungkinkan Suriah untuk “bergerak menuju masa depan yang stabil, mandiri dan rekonstruksi sejati setelah bertahun-tahun perang yang merusak”.

Pengumuman ini merupakan kemenangan besar bagi pemerintahan baru Suriah yang dipimpin oleh Presiden Ahmad al-Sharaa, mantan pemimpin Hay’at Tahrir al-Syam (HTS) yang menggulingkan rezim Basyar Assad dari kekuasaan pada Desember 2024.

Pemerintah Sharaa melakukan lobi yang gencar untuk memperoleh keringanan sanksi saat negara tersebut menghadapi kehancuran skala besar akibat perang selama hampir 14 tahun.

Masalah yang dihadapi Suriah setelah rezim Assad tumbang adalah tingkat kemiskinan yang mencengangkan dan serangan udara “Israel”.

Pukulan Lagi bagi “Israel”

Langkah ini merupakan pukulan lagi bagi “Israel” yang menduduki sebagian wilayah barat daya Suriah.

Pejabat senior “Israel” telah menyuarakan gagasan agar negara tersebut dibagi menjadi beberapa zona, Kurdi dan Druze. Dua kelompok minoritas di Suriah ini mencoba menjuluki “Israel” sebagai pelindung kaum minoritas. Tapi posisi untuk sebutan itu telah ditolak oleh sebagian besar umat Kristen dan Druze.

“Israel” juga melobi AS untuk mempertahankan pasukan tambahan di Suriah timur laut. Tetapi pemerintahan Trump menolaknya.

Tak hanya terkait Suriah. Sebelumnya Trump juga meninggalkan “Israel”. Untuk kebijakan terkait Gaza, AS pun tak sejalan dengan zionis penjajah itu. Padahal sebelumnya AS-“Israel” selalu seiring sejalan.

Oleh warga “Israel” dan oposisi di “Israel” sendiri langkah Benjamin Netanyahu dipandang sebagai kegagalan diplomatik penjajah itu. Sementara AS berhasil mengamankan pembebasan warga negaranya yang masih hidup, yang ditahan di Gaza. Tanpa keterlibatan Netanyahu.

Langkah Hamas membebaskan sandera Amerika, Edan Alexander, menguntungkan kelompok perlawanan Palestina itu.

Sebagai balasannya, Hamas memperoleh lebih dari sekadar modal diplomatik. Hamas mendapat kesempatan lain untuk mengganggu hubungan “Israel”-AS. Sebuah strategi jitu Hamas untuk “memecah belah AS dengan “Israel”.

Baca Juga

Jika “Israel” menolak tuntutan Amerika (agar melanjutkan negosiasi dan mematuhi gencatan senjata), maka Hamas akan mengandalkan pengaruh politik dan pengakuan langsung dari pemerintahan Trump–merupakan eterlibatan AS yang kedua setelah perundingan 2024 yang gagal yang dipimpin oleh utusan Trump, Adam Boehler.

Pejabat “Israel” memperkirakan penjajah itu sekarang akan ditekan oleh AS untuk mempertahankan gencatan senjata dengan Hamas. Tekanan terhadap “Israel” juga terkait izin masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza dan kelanjutan negosiasi—yang sebagian besar merupakan atas desakan Amerika.

Pembenaran atas diplomasi Sharaa

Pengumuman pencabutan sanksi tersebut akan membenarkan kemungkinan adanya diplomasi Sharaa terhadap AS.

Sharaa menjamu Anggota Kongres dari Partai Republik dan sekutu Presiden Donald Trump, Cory Mills, di Damaskus bulan lalu. Ia kemudian menyambut Jonathan Bass, seorang Republikan pro-Trump dan eksekutif gas alam cair.

Setelah perjalanannya ke Suriah, Bass mengatakan kepada beberapa media, bahwa Sharaa sangat ingin bermitra bisnis dengan perusahaan AS.

The Times melaporkan bahwa Sharaa telah mencoba untuk merayu Trump dengan mengatakan bahwa ia akan menyambut “Trump Tower” di Damaskus. Gedung Putih mengonfirmasi pada Selasa bahwa Trump akan menemui Sharaa di Riyadh.

Jika Trump mencabut sanksi sepenuhnya, hal itu dapat mengarah pada rekonstruksi bersejarah sebuah negara di pusat wilayah Levant (Bumi Syam)

Suriah memiliki beberapa hubungan bisnis dengan Barat pada tahun 1980-an dan 1990-an. Tetapi kemudian terputus dari pasar AS di era rezim Hafez Assad, ayahnya Basyar Assad.

Kongres meloloskan Undang-Undang Akuntabilitas Suriah dan Pemulihan Kedaulatan Lebanon pada tahun 2003. Tahun berikutnya, mantan Presiden George W Bush memberlakukan sanksi besar-besaran.

Ekspor Amerika ke Suriah dilarang, kecuali untuk makanan dan obat-obatan dasar. Kemudian pada tahun 2006, AS melarang transaksi dengan Bank Komersial Suriah.

Sanksi AS terhadap Suriah meningkat secara besar-besaran setelah tindakan keras Basyar Assad terhadap pengunjuk rasa dan saat perang berkecamuk.

AS menjatuhkan sanksi pada pengusaha, bank dan rezim Suriah di era Basyar Assad. Perdagangan bilateral AS-Suriah, yang masih mencapai sekitar $900 juta pada tahun 2010, turun di bawah $60 juta pada tahun 2012.

Selama masa jabatan pertamanya, Trump mengawasi penerapan Undang-Undang Perlindungan Sipil Suriah Caesar 2019. UU ini menetapkan sanksi berdasarkan pada bukti-bukti kejahatan perang rezim Assad. Diketahui, seorang fotografer militer Suriah dengan nama sandi “Caesar” menyelundupkan puluhan ribu foto mengerikan ke luar negeri yang mendokumentasikan bukti kejahatan perang oleh rezim Basyar Assad.

Pengumuman Trump juga sarat dengan simbolisme.

Turki dan negara-negara Teluk yang kaya minyak, termasuk Uni Emirat Arab, Qatar dan Arab Saudi, semuanya dapat memperluas pengaruh mereka di Suriah sekarang. Di saat Iran sedang mundur.

Jika rekonstruksi benar-benar berlangsung di Suriah, hal itu juga merupakan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan Eropa dan Amerika.

Sementara kelompok pelayaran CMA Prancis telah menandatangani kesepakatan dengan pemerintah Suriah awal bulan ini untuk mengembangkan pelabuhan Latakia.

PBB memperkirakan biaya rekonstruksinya Suriah mencapai $250 miliar. (kk)

Baca Juga