Tujuh Negara Muslim Tekankan Palestina Harus Memiliki Pemerintahan Sendiri di Gaza

SALAM-ONLINE.COM: Untuk menghindari sistem perwalian baru (pihak asing) masa depan Gaza harus dipimpin oleh Palestina sendiri, demikian pernyataan Turki bersama enam negara sekutu Muslim utamanya, Senin (3/11/2025), setelah perundingan di Istanbul.
Turki, yang memainkan peran sentral dalam mencapai gencatan senjata, mendorong negara-negara Muslim untuk turut serta dalam rekonstruksi wilayah yang dilanda perang (genosida) itu.
“Prinsip kami adalah bahwa Palestina harus memerintah Palestina dan memastikan keamanan mereka sendiri. Komunitas internasional harus mendukung hal ini sebaik mungkin — secara diplomatis, kelembagaan, dan ekonomi,” kata Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, usai perundingan dengan enam negara Muslim lainnya.
“Tidak seorang pun ingin melihat sistem perwalian baru muncul,” ujarnya dalam konferensi pers seperti dilansir The New Arab, Senin (3/11).
Dimediasi oleh Presiden AS Donald Trump, gencatan senjata 10 Oktober — yang sebagian besar menghentikan genosida “Israel” selama dua tahun di Gaza — dimana penjajah itu terus melakukan pembunuhan terhadap banyak warga Palestina di Gaza.
Perundingan tersebut melibatkan para diplomat tinggi dari Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Yordania, Pakistan dan Indonesia.
Mereka semua dipanggil untuk bertemu dengan Trump pada September lalu di sela-sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, beberapa hari sebelum ia mengumumkan rencananya untuk mengakhiri perang Gaza.
“Kita sekarang telah mencapai tahap yang sangat kritis: kita tidak ingin genosida di Gaza terulang kembali,” tambah Fidan, seraya mengatakan bahwa ketujuh negara mendukung rencana Palestina untuk mengambil alih keamanan dan pemerintahan Gaza.
Fidan, yang mengadakan pembicaraan pada akhir pekan dengan delegasi Hamas yang dipimpin oleh kepala negosiatornya, Khalil al-Hayya, mengatakan bahwa gerakan Islam tersebut “siap menyerahkan Gaza kepada komite Palestina”.
Ia juga menyatakan harapan bahwa upaya rekonsiliasi antara Hamas dan Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat, “akan membuahkan hasil sesegera mungkin”. Fidan menekankan bahwa persatuan antar-Palestina akan “memperkuat representasi Palestina di komunitas internasional”.
Sebelumnya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan Hamas “bertekad untuk mematuhi perjanjian (gencatan senjata)” dan mendesak negara-negara Muslim untuk memainkan “peran utama” dalam pemulihan Gaza.
“Kami yakin rencana rekonstruksi yang disiapkan oleh Liga Arab dan OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) harus segera dilaksanakan,” ujarnya mengenai rencana yang diumumkan pada Mare lalu.
‘Satuan tugas membutuhkan mandat PBB’
Fidan mengatakan sangat penting bahwa Pasukan Stabilisasi Internasional yang baru dibentuk, yang akan memantau gencatan senjata Gaza di bawah rencana Trump, memiliki “mandat yang ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan PBB dan kerangka kerja legitimasi”.
Washington saat ini sedang bekerja sama dengan mitra-mitra Arab dan internasional untuk memutuskan komposisi pasukan tersebut. Turki berharap untuk memainkan peran, meskipun ada tentangan keras dari “Israel”.
Negara-negara yang telah kami ajak bicara mengatakan mereka akan memutuskan apakah akan mengirim pasukan berdasarkan mandat dan wewenang ISF,” kata Fidan.
“Pertama, konsensus umum perlu dicapai terkait draf, kemudian perlu disetujui oleh anggota Dewan Keamanan.
“Dan draf tersebut harus bebas dari veto oleh anggota tetap (DK PBB) mana pun,” ujarnya mengenai langkah pemblokiran yang sering digunakan oleh sekutu utama Israel, Washington.
Hubungan antara “Israel” dengan Turki telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Penjajah itu menentang keterlibatan Ankara dalam gugus tugas tersebut.
Menurut pihak Turki, sebuah tim bantuan bencana dari negara tetsebut, yang dikirim untuk membantu upaya evakuasi jenazah mereka yang terjebak di bawah reruntuhan — termasuk tawanan “Israel” yang ditawan Hamas — telah tertahan di perbatasan karena penolakan “Israel” untuk mengizinkan mereka masuk. (kk)