Diserang Kanker Ganas karena Bom Fosfor Putih Israel, Randa tak Takut Mati

JALUR GAZA: Randa duduk tenang melipat kedua tangannya di depan dadanya, di sudut rumah seorang kawan, di suatu malam, di Madinah Gaza.

Wajahnya  yang manis menyembul cantik dari balik jilbab hitamnya. Matanya yang besar memancarkan sinar kesabaran seorang perempuan yang berjuang menahan sakit dan penderitaan karena kanker ganas di payudaranya.

Dada perempuan berusia 39 tahun yang ditutupi jilbab dan kedua tangannya itu sudah “tipis”. Empat kali operasi pengangkatan kanker serta 20 kali kemoterapi, itulah yang menyebabkan tipisnya dadanya. Pada operasi keempat, bekas-bekas luka di payudaranya harus “ditambal” dengan kulit dari pahanya.

Dalam pertemuan dengan relawan SA malam itu, ibu beranak lima itu sedang bersiap melakukan perjalanan lagi ke luar Gaza untuk memeriksakan benjolan dan cairan baru yang tumbuh lagi di bekas operasi yang sama.

“Ke mana kau akan pergi memeriksakan benjolan di bekas payudaramu, Randa?”

“Tel Aviv. Di rumah sakit khusus kanker,” jawabnya perlahan. Tenang.

Kenapa Tel Aviv? Itu “ibu kota Israel” yang sudah 64 tahun menjajah Palestina, membunuhi dan memenjarakan warga Palestina yang ada di Tepi Barat Sungai Yordan, yang mengebom, meroket dan merobek-robek tubuh bayi, anak-anak sampai nenek-nenek di Gaza! Bukankah pada pergantian tahun 2008-2009 lalu orang-orang Zionis di Tel Aviv itu yang menghujani negerimu Gaza dengan segala persenjataan canggih yang mereka dapat dari Amerika Serikat, menyiramkan bom fosfor putih yang dilarang oleh semua konvensi internasional, sehingga membunuh dan membakar begitu banyak orang Gaza?

Pada 22 hari 22 malam Perang Furqan itu, air, tanah dan udara Gaza dipenuhi serbuk putih beracun yang kemudian menyebabkan ibu-ibu keguguran, bayi-bayi cacat, dan orang-orang yang semula sehat seperti Randa kemudian menderita kanker dan berbagai penyakit degeneratif ganas lainnya.

“Betul. Bahkan, aku mulai menderita kanker empat bulan sesudahnya. Dokter bilang, kankerku disebabkan racun kimiawi dari bom fosfor putih itu,” kata Randa menghela nafas.

“Lalu kenapa kau berobat ke Tel Aviv?”

“Karena tidak ada fasilitas pengobatan untukku di Gaza sesudah Zionis mengepung kami selama lima tahun ini. Kau lihat sendiri, Gaza mengalami krisis listrik dan obat-obatan,” jawab Randa. “Tidak ada rumah sakit yang bisa menangani kondisiku di Gaza ini. Maka, Tel Aviv.”

“Kenapa bukan Kairo? Meskipun sulit untukmu menembus pintu perbatasan Rafah (yang menghubungkan Gaza dengan Mesir), setidaknya kau tidak harus berobat di tempat mereka yang justru membuatmu, dan banyak orang Gaza lainnya, sakit!”

“Itu betul. Tapi Kairo terlalu jauh. Butuh enam jam perjalanan dari Rafah ke Kairo. Aku masih punya anak-anak yang kecil, jadi aku tidak mungkin  berobat ke Kairo,” ujar ibunda Sarah (14 tahun), Usamah (13 tahun), Aya (11 tahun), Bilal (7 tahun) dan Maryam (5 tahun) itu.

Dihinakan

Bukan itu saja. Tel Aviv mungkin lebih dekat dari Gaza, tapi perjalanan melewati checkpoints militer Zionis Israel yang harus ditempuh Randa untuk setiap kali berobat dengan ditemani seorang kerabat perempuannya, sungguh tidak mudah. Pada suatu kali, tentara-tentara pengecut yang berjaga di salah satu checkpoint memaksanya turun dari kendaraan, kemudian menggeledahnya.

Harap diketahui, semua orang Zionis Israel takut kepada orang Gaza—dari bayi hingga nenek-nenek—dan mencurigai semua orang Gaza sebagai penyelundup senjata.

“Kukatakan, aku sakit. Aku ke Tel Aviv untuk berobat,” tutur Randa dengan nada biasa. “Tapi mereka tidak percaya. Aku katakan, aku ini sakit kanker! Mereka tidak percaya. Dengan kasar mereka menyuruhku turun. Lalu aku dibawa ke sebuah tempat, dan dipaksa membuka semua bajuku. Sampai salah seorang mereka melihat bekas-bekas luka di dadaku. Barulah dia sadar. Lalu berhenti menggeledah. Dan bilang, ‘I’m sorry’.”

Sabar

Ketika menceritakan penghinaan tentara-tentara Zionis itu terhadapnya, Randa tidak kemudian bercucuran airmata dan meratap-ratap. Nada suaranya tidak berubah. “Alhamdulillah, semua ini baik,” tuturnya. “Ujian dari Allah ini pasti ada hikmahnya. Insya Allah ini membuat imanku lebih kuat, membuatku lebih bergegas mendidik dan membesarkan anak-anak jadi orang-orang terbaik.”

Randa dan suaminya, Abu Usamah, adalah dua orang sabar dari begitu banyak orang sabar yang ditemui relawan SA di Gaza. Randa yang dilahirkan di Mesir pada tahun 1973 lalu dibawa hijrah oleh ayah ibunya ke Aljazair serta tinggal dan belajar di sana selama 20 tahun, mahir berbahasa Prancis. Keluarga Randa kembali ke Palestina pada tahun 1995 dan setahun kemudian Randa pun menikah dengan Abu Usamah, seorang perwira di kepolisian Gaza.

Mereka tinggal di sebuah rumah mungil yang mereka kontrak dengan harga US$ 350 sebulan. Sebelum sakitnya, Randa sibuk membantu suaminya mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan cara membuka salon perawatan rambut. Allah menetapkan bahwa pada tahun 2008, beberapa waktu sebelum penyerangan Zionis Israel ke Gaza, Randa sempat mengikuti seminar kesehatan wanita dan belajar cara memeriksa payudara sendiri.

Pada November 2009, hanya beberapa bulan sesudah penyerangan dengan bom fosfor putih, Randa merasa ada yang tak biasa di payudara kirinya. Dia menemukan bengkak dan sesuatu yang mirip kantong cairan di situ. Abu Usamah membawanya ke rumah sakit untuk serangkaian pemeriksaan laboratorium dan scanning. Mereka berutang untuk membayar seluruh biaya pemeriksaan ini.

Ganas

Baca Juga

Hasil pemeriksaan? Kanker. Randa harus menjalani mastektomi—pengangkatan seluruh payudaranya. Diikuti dengan serangkaian kemoterapi. Dengan sabar, Randa menjalani semua proses yang menyakitkan itu. Dia yakin, Allah punya rencana terbaik. “Saya hanya berdoa bahwa Allah akan membalas semua yang saya alami ini dengan pahala yang besar dan beratnya timbangan kebaikan untuk kami di Akhirat nanti,” tuturnya perlahan.

Tak lama sesudah operasinya, Randa berusaha kembali bekerja. Bahkan dengan lebih bersemangat karena ingin segera bisa membayar utang-utangnya. “Namun hanya dua setengah bulan sesudah operasi itu, saya menemukan lagi bengkak cairan di tempat yang sama.”

Para dokter dibuat terkaget-kaget oleh kecepatan kembalinya penyakit ini. Maka diputuskanlah operasi pengangkatan yang kedua, yang juga memakan biaya yang sama dengan operasi yang pertama yakni sekitar US$ 900. “Rasa sakit di dada sesudah operasi yang pertama belum lagi hilang, saya sudah harus dioperasi lagi.”

Dokter menyatakan, Randa harus menjalani lagi kemoterapi. Masalahnya, pengobatan ini tidak ada di Gaza yang sudah bertahun-tahun mengalami krisis medis. Sebelum bisa berbuat apa-apa, Allah mentakdirkan bahwa kembali muncul bengkak cairan yang sebenarnya kanker itu di tempat yang sama dengan pembedahan yang kedua.

“Dokter di Gaza menyatakan, saya tidak mungkin diobati di sini. Tapi ada rumah sakit yang memiliki perawatan lengkap… di Tel Aviv. Maka, mau tidak mau, saya harus pergi ke sana. Di sana, saya harus memulai semua proses ini dari awal, mulai dari pemeriksaan sampai pembedahan berikutnya.”

Randa pergi bersama salah seorang kerabat perempuannya, karena suaminya yang perwira polisi itu tidak mungkin memasuki daerah Palestina yang dijajah Zionis Israel. “Dokter-dokter di Tel Aviv memutuskan 20 sesi kemoterapi. Sakit luar biasa. Semua rambut, bahkan alis mata saya pun rontok habis.”

Sekitar tiga bulan sesudah kemoterapi, ketika bengkak berisi cairan itu mulai mengecil, dilakukanlah operasi yang ke tiga. Namun Allah mentakdirkan bahwa tiga bulan lagi sesudah itu, terjadi lagi pembengkakan di tempat yang sama.

SubhanallahAlhamdulillah, segala puji milik Allah yang menghendaki semua ini, dan semoga Allah menjadikan semua ini sebuah jalan untuk menambah timbangan pahala bagi kami,” tutur Randa.

Dokter memutuskan untuk sekali lagi melakukan operasi—sedemikian rupa sehingga payudara Randa berubah menjadi ‘lapangan’ yang bukan saja tipis dan cekung tapi bahkan tak memiliki cukup kulit untuk menutupi bekas operasinya. Maka dokter mengambil jaringan dari paha Randa untuk “menambal” dadanya. Semua rasa sakit itu ditanggung Randa dengan berusaha terus sabar, termasuk ketika dokter menambahkan enam kali sesi kemoterapi lagi sesudah operasi k empat itu.

Pada tanggal 29 April 2012 yang lalu, ketika relawan SA masih berada di Gaza, Randa harus kembali ke Tel Aviv untuk pemeriksaan laboratorium dan scanning yang ke sekian kalinya.

Kanker itu ternyata sudah kembali lagi.

“Semoga Allah mengampuni kami,” desah Randa.

Ketika laporan ini ditulis, pertengahan Mei 2012, Randa tengah berada di rumah sakit di Tel Aviv, menjalani operasinya yang ke lima.

Terkubur Utang

Pada masa-masa pengobatan di bulan Mei 2010, suami Randa memutuskan untuk membeli sebuah flat kecil di lantai delapan sebuah gedung di kota Gaza, agar tidak usah lagi mengontrak terus menerus. Dananya dari mana? Dipinjam dari Bank Islam Palestina dengan cara murabahah—separuh gaji Munir dipotong setiap bulannya untuk mencicil rumah. Rumah baru akan lunas pada tahun 2017.

“Sungguh tidak mudah, membiayai lima anak dengan separuh gaji sementara pengobatan saya juga luar biasa memakan biaya,” tutur Randa. Selama dua setengah tahun berobat ini, Randa harus melakukan 43 kali perjalanan dari Gaza ke Tel Aviv, dan setiap kali perjalanan membutuhkan dana setidaknya US$ 350.

“Sekarang ini, utang kami sudah menumpuk sampai belasan ribu dollar dan mereka yang meminjami sudah mulai kehilangan kesabaran.”

Apakah Randa tidak ingin hijrah saja dari semua kesulitan ini dan meninggalkan Gaza? Dengan wajah seperti syok, Randa menggeleng. “Tidak! Ini tanah air kami. Ini rumah kami. Ini tanah yang diberkahi Allah.”

Sekarang ini, Randa dan suaminya berniat menjual rumah mereka untuk membiayai mereka berdua pergi ke tanah suci Makkah Al-Mukaramah. “Kami ingin beribadah di sana, kami ingin minum air zamzam, dan insya Allah di sana saya akan sembuh karena kata Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam, zamzam memberikan manfaat sebagaimana diniatkan peminumnya.”

“Aku tidak takut mati, karena aku percaya bahwa apa yang ada di sisi Allah adalah kebaikan yang abadi,” tutur Randa. “Saya hanya berharap bahwa sebelum mati, aku dan suamiku dapat pergi haji dan terbebas dari himpitan utang-utang yang akan mencegah langkah kami memasuki Syurga.”  (Sahabatalaqsha/salam-online.com)

Keterangan foto: Serangan bom fosfor putih dari Israel ke atap-atap rumah di Gaza, Randa dan si bungsu Maryam, Areej (salah satu bocah Gaza yang terkena efek langsung bom fosfor putih). Foto: occupied palestine dan dok pribadi.

Baca Juga