Islam dan Tradisi Ilmu

CATATAN ARTAWIJAYA*

Perhelatan Islamic Book Fair (IBF) 2012 yang diselenggarakan di Jakarta pada 9-18 Maret lalu memasuki rentang waktu lebih dari satu dasawarsa. Sejak diselenggarakan pertama kali pada 2001 lalu, IBF mampu menarik minat pecinta buku dan membangkitkan optimisme pasar di kalangan penerbitan buku-buku Islam. Perhelatan ini juga mampu menyuntikkan semangat bagi para penulis buku-buku Islam untuk menghasilkan karya-karya terbaik mereka dalam mencerdaskan bangsa. Dengan tema “Kuat dan Mandiri dengan Pendidikan Qur’ani”, IBF kali ini ingin menegaskan bahwa tradisi mencintai ilmu lewat penerbitan buku-buku keislaman adalah bagian dari upaya membangun kekuatan dan kemandirian umat sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an.

Islam mengajarkan bahwa kekuatan dan kemandirian harus dilandaskan oleh ilmu dan iman. Keduanya harus berjalan seimbang, tidak pincang dan berseberangan. Kemampuan membaca ayat-ayat kauniyah (alam semesta) harus diiringi dengan kemauan untuk berpegang teguh pada ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an). Karena itu, dalam surah Al-‘Alaq (1-5) Allah memerintahkan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan umatnya untuk membaca (iqra’) dengan nama Allah Yang Maha Menciptakan (bismirabbikalladzi khalaq).

Aktivitas membaca, menelaah, meneliti, dan mengamati harus diiringi dengan menjadikan Allah sebagai sandaran. Karena betapa banyak orang-orang yang diberi kemampuan akal untuk membaca, namun kemudian ingkar terhadap Rabb Yang Menciptakan akal manusia tersebut, sehingga mereka terjebak pada paham yang mendewakan akal, menganggapnya sebagai anugerah Tuhan yang bebas merdeka. Kekuatan akal mereka rapuh, karena bergantung pada keterbatasan manusia yang fana.

Mengenai keunggulan peradaban Islam, Prof. H.A.R Gibbs mengatakan, “Islam is much more than a system of theology, it’s a complete civilization. (Islam lebih dari sekadar ajaran tentang theologi, Islam adalah peradaban yang lengkap).”

Dalam Al-Qur’an dijelaskan, karakteristik orang-orang yang berilmu (al-‘ulama) adalah mereka yang takut kepada Allah Rabbul ‘Alamin (QS Fathir: 28). Mereka adalah sosok mandiri dan tidak bergantung pada penghambaan kepada selain Allah. Mereka kuat karena berpijak pada kalimat tauhid yang Allah gambarkan sebagai kalimat thayyibah; akarnya menghujam kuat ke bumi, dan cabangnya menjulang ke langit (QS Ibrahim: 24-25).

Kemandirian mereka juga tercermin dalam sikap yang membenci pada taklid buta, yakni mengikuti atau membeo pada sesuatu yang tidak berdasarkan ilmu, melainkan pada kejahilan, emosionalitas, dan inferioritas (Q Al-Israa’: 36). Mereka yang beramal tanpa ilmu adalah orang-orang yang mengekor pada akal dan hawa nafsu.

Sejarah mencatat, peradaban Islam pada masa lalu tak lepas dari peran ulama, yaitu mereka yang berilmu, mencintai ilmu, dan menebarkan ilmu dengan landasan kalimat thayyibah. Dengan begitu ilmu yang didapat bisa menguatkan ketakwaan, bukan memunculkan sikap ketakabburan. Jika ilmu sudah menuntun mereka pada ketakwaan, maka Allah berjanji akan senantiasa memberikan ilmu-Nya dan mengajarkan ilmu-Nya yang lebih luas lagi (QS Al-Baqarah: 282). Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan, ”Cukuplah ilmu membawa ketakutan kita kepada Allah…”

Baca Juga

Tradisi mencintai ilmu di kalangan para salafus shalih itu kemudian dikokohkan dengan tradisi mengikat ilmu lewat tulisan-tulisan yang dibukukan dalam kitab-kitab yang ribuan jumlahnya. Kitab-kitab tersebut kemudian di-ta’liq (ditelaah/dikomentari) dan di-tahqiq (diverifikasi) oleh para ulama setelahnya, sehingga kualitas keilmuannya makin berbobot dan terjaga kualitasnya.

Tak jarang ulama mutaakhirin (kontemporer) memberikan catatan pada kitab-kitab ulama mutaqaddimin (masa lalu). Maka muncullah banyak kitab syarah (penjelas) dari kitab-kitab sebelumnya, seperti Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani yang merupakan syarah dari Kitab Al-Jami’ As-Shahih atau yang lebih dikenal dengan sebutan Shahih Al-Bukhari dan Kitab Syarah Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi.

Sebagai bagian dari menjaga warisan tradisi tersebut, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menulis Kitab Ihya Ulumuddin (Membangkitkan Ilmu-ilmu Islam), yang di dalamnya dimuat bab khusus, Kitab Al-Ilm yang di antaranya berisi bagaimana sikap kita terhadap ilmu. Pada masa lalu, orang-orang berilmu (al-‘ulama) adalah mereka yang telah lebih dulu menguasai Al-Qur’an, menghafal dan memahami kandungan maknanya. Mereka mendapatkan ijazah (akreditasi) dari syaikh yang menjadi mu’allim-nya, setelah benar-benar dinilai cakap dalam memahami Al-Qur’an dan menguasai spesifikasi ilmu yang diajarkan kepadanya, sehingga ilmu tersebut menyebar ke tengah-tengah masyarakat di bawah para mu’allim yang benar-benar memiliki kafa’ah ilmiah (capability on knowledge).

Konsep pendidikan para salafus-shalih pada masa lalu adalah pendidikan yang berlandaskan pada Al-Qur’an, induk dari segala pengetahuan yang lafazh dan maknanya diturunkan langsung oleh Allah SWT, dijaga kemurniannya sampai Hari Kiamat. Metode yang  dilakukan para salafus-shalih pada masa lalu hendaknya bisa dijadikan contoh bagi kita saat ini, terutama para pendidik, agar melandaskan konsep pendidikannya pada basis tauhid yang kokoh, kemudian lebih dulu mengajarkan anak didiknya untuk memahami Al-Qur’an, Kitab Suci yang lengkap, yang tak ada satu pun yang luput di dalamnya. Setelah tauhidnya kokoh, pemahamannya terhadap Al-Qur’an baik, maka ilmu yang digeluti tidak akan menjerumuskannya pada kerusakan berpikir dan keangkuhan intelektual. Metode pendidikan seperti inilah yang insya Allah mampu membangun karakter umat yang kuat dan mandiri, tidak bergantung pada siapapun kecuali kepada Allah Azza wa Jalla.

Warisan ilmu (turats) yang tercatat dalam ribuan kitab pada masa lalu dan hingga kini, yang ditulis oleh para ulama-intelektual Muslim, adalah salah satu fondasi bagi tingginya peradaban Islam. Ilmu-ilmu tersebut berlandaskan pada wahyu Tuhan, sehingga terbebas dari keangkuhan intelektual dan kerusakan pemikiran. Dengan konsep seperti ini, maka pantaslah jika Islam dan kaum Muslimin mendapat julukan sebagai ustadziyatul ilm (soko guru ilmu), ustadziyatul madaniyah (soko guru peradaban), dan ustadziyatul alam (soko guru dunia). Wallahu a’lam.

 *Penulis Editor Pustaka Al-Kautsar

Baca Juga