Belajar dari Kegagalan Meraih DKI-1, Apa yang Harus Dilakukan PKS untuk 2014?

–CATATAN ABDULLAH SALIM–

OPINI (salam-online.com): Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada) di DKI Jakarta, menunjukkan bagaimana dan sejauhmana peta “keberhasilan” dakwah di ibukota dan sekitarnya yang menjadi bagian “ladang dakwah”nya PKS sebagai “partai dakwah”. Bagaimana, misalnya, banyak warga Jakarta yang tak peduli dengan pernyataan Ahok (pasangan Jokowi) yang melecehkan ayat suci. Juga tak ambil pusing dengan perbuatan mistik-klenik Jokowi dengan mobil Esemkanya di Solo yang dimandikan dengan kembang tujuh rupa saat mau diberangkatkan ke Jakarta.

Yang peduli dengan ketidakberhasilan Fauzi Bowo sebagai gubernur, penistaan Ahok terhadap kitab suci, dan klenik-mistiknya Jokowi, umumnya adalah kelas menengah. Tapi pada level ini pula diprediksi banyak yang golput.

Di banyak wilayah, dari RT-RW dan kelurahan yang semula kader-kader PKS sangat bergairah, terutama—terakhir—pada tahun 2007 saat pemilukada DKI Jakarta, tapi 5 tahun kemudian, spirit dan gairah itu berganti menjadi sebaliknya.

Dalam pantauan dan catatan penulis, sehari sebelum kampanye berakhir, di beberapa kelurahan sampai RT-RW, gairah 5 tahun lalu itu nyaris pudar. Ketika gambar-gambar pasangan Hidayat-Didik dicopoti oleh tim sukses pasangan kandidat lain, tak ada semangat untuk mempertahankannya. Ketika dikabarkan tim sukses pasangan kandidat tertentu akan memberi uang untuk satu kelompok yang mau mencoblos kandidat mereka, justru yang mengordinirnya adalah orang-orang yang semula menjadi pendukung calonnya PKS. Mungkin ketularan juga tergiur dengan fulus.

Apa sesungguhnya yang terjadi? Dari obrolan dengan mereka, para kader PKS di level bawah, mereka merasakan pembinaan sudah tak seperti dulu lagi. Semangat dakwah jauh berbeda dengan masa awal Partai Keadilan dan PKS.

Dulu, di masa Hidayat Nur Wahid menjadi Presiden Partai, semangat dakwah, kepedulian (pelayanan sosial), dekatnya dengan masyarakat, membantu rakyat, itu sangat terasa. Demikian curhat mereka.

Apa yang dikeluhkan para kader PKS di level bawah itu ada benarnya, bahkan banyak betulnya. Masih terngiang di telinga penulis, misalnya, editorial MetroTV—sekaligus editorial Media Indonesia—beberapa kali memuji PKS dengan pelayanan alias kepedulian sosialnya. Ditambah lagi setiap unjuk rasanya yang damai, tertib, sehingga layak jadi contoh. Publik pun memuji, ternyata tak semua partai itu jelek. Buktinya PKS adalah partai yang benar-benar peduli, melayani rakyat, dan bersih! Maka, opini publik dan sederet pujian dari sejumlah media pun berpihak pada PKS. Itu dulu.

Tapi, setelah 2007, partai ini mulai dipertanyakan oleh para simpatisannya, tak terkecuali para kadernya—terutama di lapisan bawah. Pada pertengahan tahun 2008, ketika ada salah satu petingginya membuat pernyataan bahwa PKS akan bergerak ke tengah alias mendekat kepada golongan nasionalis, justru membuat banyak aktivis dan ormas-ormas Islam mulai menjauh.

Sejumlah tokoh aktivis dan ormas-ormas Islam yang semula banyak berharap dengan PKS, mempertanyakan keinginan PKS mau bergeser ke tengah itu. Sebab, dulu Amien Rais ketika mau bikin partai menyatakan “baju” Islam itu sempit untuknya. Artinya, jangan bikin partai Islam, karena akan membatasi “market”. Tak banyak mendulang konstituen.

Nyatanya, teori Amien itu keliru. PAN yang dia bikin justru kalah suara dengan PK dan PKS yang berasaskan Islam dan menyatakan diri sebagai pertai Islam. Bahkan Muhammadiyah yang disebut-sebut akan menggelembungkan suara PAN, realitasnya suara para anggota ormas Islam ini banyak yang masuk ke PKS. Tak sedikit anggota dan kader Muhammadiyah, juga menjadi kader dan pengurus PKS.

Maka, suara-suara sejumlah ormas Islam pun menyayangkan PKS yang ingin geser ke tengah. Padahal, menurut mereka, konstituen yang ada, dari golongan Islam saja, jika “diseriusi” insya Allah, dengan izin Allah,  mampu menggelembungkan suara PKS di tengah krisis kepercayaan terhadap partai Islam dan partai berbasis massa Islam lainnya. Ya, di tengah hilangnya trust publik Islam terhadap partai Islam dan yang berbasis massa Islam, PKS adalah harapan kala itu.

Setelah pernyataan ingin ke tengah dan menyusul lontaran berikutnya yang berkaitan dengan Pancasila dan  sebagai partai terbuka, maka pasca mukernas Bali dan Munas di hotel JW Marriott, Jakarta, makin menambah kesan partai ini akan keluar dari pakemnya sebagai partai dakwah—yang kemudian dibantah oleh presidennya kala itu, Tifatul Sembiring, yang tetap menyatakan PKS sebagai partai dakwah. Menurut Tifatul, itu cuma wacana yang disuarakan dari daerah-daerah yang minoritas Muslim.

Apapun ceritanya, pernyataan PKS bergeser ke tengah itu, nyatanya tak membuat partai ini sukses mendulang suara di pemilu 2009 lalu. Teori Amien Rais yang sudah jelas-jelas gagal (menyatakan baju Islam itu sempit) sehingga ingin merangkul semua kalangan, lalu mau coba dipungut oleh pernyataan salah seorang petinggi PKS itu, justru jadi bumerang buat PKS. Sejumlah ormas Islam yang semula menjadi simpatisan PKS menjadi surut ke belakang, tak mendukung PKS dalam pemilu lalu.

Baca Juga

Sangat disayangkan. Ibarat kata, PKS ingin ke tengah, itu berarti meninggalkan basis yang jelas-jelas akan lebih mudah merangkulnya ketimbang basis nasionalis yang sudah punya partai dan ideologi sendiri. Akhirnya, seperti PAN, berharap dengan memperlebar jala ke tengah laut akan banyak dapat ikan, tapi menafikan ikan-ikan yang di pinggirnya yang jumlahnya tak sedikit. “Ikan-ikan” nasionalis itu sudah tahu, apa dan bagaimana “jaring-jaring” PKS, sehingga sangat sulit untuk mereka menjadi pendukung PKS. Sementara “ikan-ikan” yang di pinggiran jika PKS serius, itu akan lebih mudah “menjaring”nya. Tapi oleh PKS, basis massa Islam itu tak mendapat perhatian serius.

Petinggi PKS: Ust Anis Matta, Ust Hilmi Aminuddin, Ust Luthfi Hassan, Ust Mahfud Abdurrahman

Hal itu diperparah lagi dengan seringnya pernyataan blunder yang dilontarkan oleh beberapa petingginya di Jakarta, khususnya yang duduk sebagai anggota dewan. Berikutnya, pudarnya gairah, terutama pada kader-kader di lapisan bawah, karena minimnya pembekalan dan kurangnya—untuk tak menyatakan tiadanya—arahan-arahan untuk memompa semangat para kader dengan pertemuan-pertemuan wajib yang sebelumnya dilakukan oleh komunitas yang mendapat sebutan sebagai kelompok Tarbiyah ini, turut memberi andil merosotnya partai.

Para kader dan simpatisan itu mengeluhkan kesibukan masing-masing, terutama terkait dalam politik. Ya iyalah, para ustadz yang semula menjadi penyemangat, punya kesempatan mengisi relung-relung ruhiyah para kader, sekarang sibuk menjadi anggota dewan, baik di tingkat II, provinsi ataupun DPR. Belum lagi kesibukan semuanya jika ada yang dicalonkan menjadi bupati, walikota dan gubernur. Semuanya dikerahkan.

Maka, apa yang diperoleh PKS dalam pemilukada DKI sesuai dengan upaya kader-kader ujung tombak yang dimulai dari RT-RW. Sangat berbeda dengan suasana pemilukada DKI pada 2007 lalu.

“keberhasilan dakwah”, yang dulu sempat “diisi” oleh para kader PKS, dimana semangat dakwah yang tampak dimulai dari RT, RW dan tingkat kelurahan, tapi pasca pemilukada sekarag  makin jelaslah kondisinya. Semangat mendekati konstituen yang dahulu tak hanya dilakukan saat mau pemilu saja, tentu akan berbeda dengan pendekatan yang sering dilakukan oleh partai pada umumnya—yang mendekati rakyat saat menjelang pemilu saja. Dan, yang sebelumnya kiprah PKS benar-benar melayani, peduli dengan citra bersih, tak lagi berbekas.

Jadi, setidaknya ada tiga hal yang mestinya diperhatikan oleh PKS jika ingin kembali menyentuh hatinya publik. Pertama, di level atas harus membuat pernyataan yang kondusif, tak nyeleneh. Jika ingin mengeluarkan pernyataan penting kudu dipikir dulu apa efeknya, apalagi jika ditanya wartawan. Petingginya harus memiliki kemampuan dalam komunikasi politik. Jika dirasa tak perlu, janganlah membuat statemen yang bisa-bisa merugikan partai dan dirinya sendiri.

Kedua, para petinggi partai, baik di pusat maupun daerah, harus menunjukkan dan menjaga bahwa partai ini benar-benar bersih dari jerat korupsi, dan lainnya yang membuat citra partai tercoreng. Termasuk di sini, harus pula menjaga penampilan, jangan mengesankan bermewah-mewah, yang berakibat menimbulkan imej negatif.

Ketiga, walau bagaimanapun level/lapisan bawah adalah ujung tombak. Karenanya, partai harus menjaga mereka. Untuk itu, PKS harus menghidupkan kembali ruhul-nafs (jiwa), ruhul-dakwah dan ruhul-jihad di setiap relung pribadi para kader dan simpatisannya, di semua tingkatan—termasuk pusat. Dan, tak lupa ruh (spirit dan semangat) untuk kembali mengintensifkan pelayananan sosial dan kepedulian terhadap rakyat jelata yang belakangan ini tak seperti dulu lagi.

Jika sejak dini tak berbenah, maka pada 2014 bisa lebih jeblok lagi. Kalau dikatakan pemilukada DKI sebagai patokan untuk 2014, maka tentu partai ini tak mau, di Jakarta, misalnya, suaranya lebih melorot lagi. Begitu pula di provinsi lainnya. Spirit Jakarta yang pernah dikuasai PKS akan jadi penggairah bagi kota dan daerah lainnya di Indonesia. Itu jika PKS mau memperbaiki diri, citra dan kiprahnya di tengah masyarakat.

Penulis yakin, para petinggi PKS juga tahu akan hal ini, tapi, para ustadz itu juga manusia. Manusia tempatnya lupa. Maka tak salahnya saling mengingatkan. Kesibukan bisa melalaikan. Kecintaan dan keasyikan terhadap dunia bisa mengundang penyakit yang bernama ‘al-wahn”. Semoga kita terhindar dari segala penyakit yang membutakan, membebalkan dan memekakkan kita dari jalan-Nya.

Akhirnya, ada harapan kepada PKS supaya jangan berlama-lama tenggelam dalam arus demokrasi. Demokrasi yang ternyata mengebiri. Yang suara pelacur sama dengan ulama, suara preman sama dengan profesor. Karena, memang, itulah hakikat demokrasi. Dan, semoga anggapan ini benar, bahwa PKS hanya memanfaatkan demokrasi–bukan sedang menikmati–untuk kemudian mengarahkan umat dan bangsa ini kembali kepada prinsip syura dalam Islam, dimana yang memilih pemimpin adalah mereka yang memiliki kompetensi dan bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.

Baca Juga