JAKARTA (salam-online.com): Joko Tjandra buron ke luar negeri 3 tahun lalu. Ia divonis oleh Mahkamah Agung (MA) 2 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus cessie Bank Bali. MA juga memerintahkan Joko membayar denda Rp 15 juta subsider tiga bulan penjara. Dan, dana di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.
Joko diketahui kabur ke Papua Nugini (PNG) menggunakan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, sehari sebelum MA membacakan putusannya pada 2009 lalu. Hingga kini ia masih masuk daftar buron Kejaksaan Agung dan Interpol.
Belakangan diketahui, Joko sudah menjadi warganegara PNG.
Tak hanya Joko yang buron. Menurut Wakil Jaksa Agung Darmono, masih ada 23 buronan kakap kasus KLBI-BLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia & Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Darmono, dalam keterangan pers di kantornya, 13 juni 2012 lalu, menyatakan semula buronan KLBI-BLBI ada 24 orang. Sekarang berkurang satu, menjadi 23, setelah tertangkapnya Sherly (Sherny) Kojongian yang gagal menjadi warganegara AS—karena informasi dari pemerintah Indonesia bahwa yang bersangkutan terlibat tindak pidana di Indonesia.
Tapi, jangan salah, Kojongian itu masih belum kakap. Justru para taipan perampok dana KLBI-BLBI ratusan trilyun yang hingga sekarang tak jua jelas keberadaannya, itulah buronan kakap.
Siapa Sherly dan apa perannya dalam kasus BLBI?
Sherly merupakan perempuan kelahiran Manado, 8 Februari 1963. Ia terlibat masalah kala menjabat Direktur Kredit Bank Harapan Santosa. Eko Edi Putranto merupakan suaminya dan Hendra Raharja adalah mertuanya.
Ia turut terlibat dalam penggelapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Seharusnya dana itu dipakai untuk membayar deposan. Namun Sherny bersama kedua orang keluarganya justru menyetujui kredit senilai Rp 2,6 triliun kepada enam perusahaan di bawah grup PT Bank Harapan Santosa (BHS). Keenam perusahaan itu adalah PT Prasetia Pertiwi, PT Setia Harto Jaya Building, PT Gaya Wahahan Abadi Sakti, PT Eka Sapta Dirgantara, PT Inti Bangun Adhi Pratama dan Bintang Sarana Sukses.
Kredit grup BHS pertama cair pada 1992 sebesar Rp 844 miliar. Setahun kemudian kredit cair lagi sebesar Rp 45 miliar. Pada tahun 1996, kredit dikucurkan sebanyak Rp 1,8 triliun. Dana tersebut dipakai antara lain untuk membeli puluhan bidang tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera.
Jadi, Sherly itu hanya salah seorang yang membantu memuluskan penjarahan dana untuk grup BHS milik mertuanya. Sementara para taipan rampok kakap kasus KLBI-BLBI yang jumlah semuanya berkisar lebih dari 600 trilyun rupiah, rata-rata belum tersentuh hukum.
Dari website resmi milik Kejaksaan Agung, rekam jejak beberapa koruptor BLBI,menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan potensi kerugian negara dari BLBI mencapai Rp 138,4 triliun atau 95,8 persen dari total dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan per 29 Januari 1999. Itu belum terhitung data sebelum 1999. Dana KLBI-BLBI yang dirampok bisa lebih besar lagi.
Karenanya, jangan menutup mata dalam kasus yang sudah terjadi sejak Orde Baru ini. Mereka enak-enakan hidup di luar negeri bergelimang dengan harta hasil rampokannya, sementara rakyat Indonesia banyak yang menderita, melarat dan hidup di bawah garis kemiskinan, sekolah susah, bangunan sekolah ambruk, berobat sulit, mencari sesuap nasi pontang-panting, dan seterusnya.
Jadi, tak hanya Joko Tjandra, tapi para penegak hukum harus berusaha keras menyeret para taipan yang telah menjarah uang milik rakyat dalam kasus KLBI-BLBI itu. Bahkan, mereka yang membantu berhasilnya Joko kabur sehari sebelum putusan MA keluar, itu juga harus diusut. Mustahil Joko tahu tentang putusan itu kalau tak ada “mafia” yang membantunya, sehingga bisa lolos ke luar negeri.
Beberapa koruptor kasus BLBI, di antaranya:
1. Supari Dhirdjoprawiro dan S. Soemeri
Keduanya merupakan mantan Presiden Direktur Bank Ficorinvest. Keduanya dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan pada 13 Agustus 2003. Keduanya harus membayar uang pengganti Rp 16,8 miliar. Saat ini masih bebas karena mengajukan kasasi.
2. David Nusa Wijaya
Dia adalah mantan Direktur utama Bank Umum Servitia. David Nusa Wijaya divonis 8 tahun penjara oleh MA pada 23 Juli 2003. Dia sempat melarikan diri ke Amerika Serikat. Namun berhasil ditangkap dan diekstradisi ke Tanah Air untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh pengadilan, dia terbukti melakukan korupsi dana BLBI sebesar Rp 1,2 triliun dan harus mengganti kerugian negara tersebut.
3. Hendra Rahardja
Dia adalah pemilik Bank Harapan Sentosa (BHS). Oleh pengadilan, dia terbukti melakukan penyelewengan dana BLBI dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 1,95 triliun. Dia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Namun, dengan alibi sakit stroke, Hendra melarikan diri ke Hong Kong hingga akhirnya diketahui menetap di Australia dan meminta perlindungan dengan membawa kabur dana BLBI. Pemerintah Indonesia telah berupaya memulangkan Hendra ke Tanah Air, namun tidak berhasil hingga akhirnya Hendra meninggal tahun 2002 di negeri Kangguru itu.
4. Eko Adi Putranto
Eko merupakan salah satu direktur BHS. Dia adalah anak dari Hendra Rahardja pemilik BHS. Eko divonis 20 tahun penjara dan harus membayar denda sebesar Rp 30 juta. Namun, Eko berhasil melarikan diri ke Australia.
5. Sherly Kojongian
Sherly adalah salah satu direktur BHS yang sempat buron namun berhasil ditangkap di Amerika Serikat belum lama ini. Dia divonis 20 tahun. Kini, Sherly harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di mata hukum.
6. Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan
Keduanya merupakan Direktur dan Direktur utama Bank Surya yang dihukum seumur hidup. Keduanya terbukti melakukan penyelewengan dana BLBI dan merugikan negara sebesar Rp 1,5 triliun. Bambang melarikan diri ke Singapura, sementara Adrian kabur ke Australia. Pada November 2008, Adrian Kiki tertangkap oleh otoritas setempat di Perth, Australia Barat. Sedangkan rekannya, Bambang hingga kini masih buron.
7. Samadikun Hartono
Dia adalah Presiden Komisaris Bank Modern yang menerima kucuran dana BLBI sebesar Rp 2,5 triliun. Samadikun dinyatakan bersalah melakukan penyelewenga dana BLBI yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 169 miliar. Dia dijatuhi hukuman 4 tahun penjara, namun tidak dapat dieksekusi karena melarikan diri. Informasi terakhir yang diperoleh Kejaksaan, Samadikun menetap di Apartemen Beverly Hills Singapura dan memiliki pabrik film di China dan Vietnam.
8. Agus Anwar
Dia adalah pemilik Bank Pelita. Kejaksaan Agung telah menetapkan Agus sebagai tersangka kasus korupsi dana BLBI yang merugikan negara Rp 1,98 triliun. Dia masuk daftar delapan obligor BLBI yang dicekal. Namun Agus berhasil kabur ke Singapura. Saat kabur, perkaranya masih dalam proses pengadilan. Kejaksaan menyidangkan Agus secara in absensia atau tanpa kehadiran terdakwa.
9. Sjamsul Nursalim
Sjamsul adalah tersangka kasus dugaan penyimpangan dana BLBI sebesar Rp 10,5 triliun di Bank Umum Nasional. Namun, proses penyelesaian kasus yang saat itu memasuki tahap penyidikan, terpaksa dihentikan. Pertimbangan Kejaksaan Agung, pemilik Bank Dagang Negara itu telah mengantongi surat keterangan lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
10. Hendrawan Haryono
Dia adalah mantan Wakil Presiden Direktur PT Bank Aspac. Oleh majelis hakim kasasi, terdakwa Hendrawan dinyatakan bersalah dan dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Dia terbukti melakukan penyelewengan dana BLBI sebesar Rp 583 miliar. Dia bekerja sama dengan kakaknya, Setiawan Haryono yang saat itu menjabat sebagai Presiden Direktur Bank Aspac.
11. Atang Latif
Dia adalah mantan komisaris Bank Indonesia Raya atau Bank Bira. Atang sempat melarikan diri ke Singapura sebelum kasusnya disidangkan. Namun akhirnya menyerahkan diri 27 januari 2006 dan menyatakan sanggup bayar Rp 170 miliar, setelah sebelumnya dia telah membayar Rp 155 miliar. Bank Bira sendiri menerima kucuran dana BLBI sebesar Rp 325 miliar. Proses Atang diserahkan ke Kementerian Keuangan mengingat pengelola BLBI yakni BPPN sudah bubar.
Selain nama2 tersebut, beberapa mantan direktur Bank Indonesia juga telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.
Bagaimana dengan penjarah lain yang masih buron? Kenapa sampai sekarang (sejak era Orde Baru) para buronan itu masih belum tertangkap? (S/salam-online.com-dari berbagai sumber)