Perlu dipikirkan kembali, apakah beberapa tayangan ceramah populer di televisi itu benar-benar mendidik umat.
“Lhoo! Kok diganti channelnya? Kan acaranya pengajian?” tanya seorang Ibu.
Suaminya menjawab: “Dia ustadz apa selebriti sih?”
Ceramah “ustadz” itu selalu diakhiri dengan yel-yel “kesombongan” di setiap akan jeda dengan iklan. Sempat tertayang juga di channel televisi itu gambaran kekayaan, kemegahan, dan rumah miliknya yang dibeli dengan harga milyaran rupiah.
Apakah channel televisi dan penceramah itu tidak sadar kalau penonton channel itu sebagian besar adalah umat yang kondisi ekonominya parah.
Apakah tidak direnungkan juga bagi si penceramah bahwa mungkin apa yang dimilikinya, ilmunya, amalnya, atau kepopulerannya adalah Istijraj (pemanjaan) semata dari Allah?
Apakah mereka yang selama ini mengisi ceramah-ceramah, berpredikat “Ustadz” dan berpenampilan ala “Ulama” itu, benar-benar ingin membina dan menata umat? Atau sekadar sebagai alat untuk mencari status pengakuan diri?
Apakah benar popularitas (merupakan bagian dari industri dengan manajemen komunikasi yang hebat) dijadikan alat untuk menghasilkan devisa pribadi?
Kalau ini memang benar adanya maka akibatnya akan terjerembab pada dosa ke dosa, tenggelam dalam kenistaan. Namun, ini tidak disadari, karena menganggap semua itu adalah anugerah dari Allah.
Oh, betapa terhijabnya.
Mungkin lebih baik mengganti channel lain yang mampu ‘mengusik’ hati kita. Atau mencoba menikmati lagu-lagu yang bertemakan Kerinduan kepada Rabbul ‘Izzati, yang mampu menggugah hati untuk bermuhasabah, misalnya. Atau mencoba mendengarkan lagu yang mengandung arti dalam, atau lagu yang mampu membuat air mata kita menetes tanpa terasa. Tetesan air mata kerinduan dan kecintaan kepada Rabb yang nilainya, saking tingginya, misalnya, tak bisa dibandingkan dengan harga berlian Koh I Nur milik Ratu Inggris.
Kapan para “Ustadz” berhenti memikirkan syahwat duniawi, berkendaraan nama besarnya, posisinya, dengan aji mumpungnya? Apakah masih mencari selain Allah? Apakah masih menggugat Allah? Apakah masih punya tata krama di hadapan Allah?
Apakah ini model produk pesantren masa kini? Yang terpengaruh oleh sarana dan prasarana pesantren yang megah dan mewah? Mudah-mudahan kiranya ini tidak 100 persen benar.
Namun, coba bandingkan perbedaan dengan pesantren dulu yang bergedung bambu, beratap welit, berlampu “cempluk” (lentera), beralas bambu belah, berseprei tikar pandan, berbantal bongkal kayu, masak dengan kendil, mengambil air dari sungai. Di situ mandi, cuci, buang air. Ditempa dengan kehidupan sederhana. Namun Cahaya Allah menghunjam ruhnya, membias auranya, walau raga dibalut kesederhanaan.
Mungkin ini kesalahan dari kurikulum pesantren yang kurang mengarah ke “rahmatan lil ‘aalamiin”, keteladanan dan kharisma para pengasuh yang kurang berkualitas. Dan tanpa sadar telah dininabobokan oleh hedonisme.
Sandra, Vony dan Tata, tiga sahabat itu tertawa genit dengan gaya seksinya. Mereka sedang membuat MoU: ketiganya ingin bersuamikan “Ustadz”. Karena “Ustadz” lagi “Naik Daun” bak selebriti, bergelimang harta, mewah, populer, tersanjung.
Jika sudah demikian, bagaimana masa depan umat ini? Ustadz jadi “Tontonan”, tidak lagi jadi “Tuntunan”. Umat dihantarkan ke jurang kehancuran dan kehinaan.
“Tidak dikhawatirkan padamu bingung jalan, tetapi yang dikhawatirkan adalah menangnya hawa nafsu terhadapmu,” (al~Hikam).
“Meresap manisnya hawa nafsu dalam hati merupakan penyakit yang sukar diobati,” (al~ Hikam).
“Cinta dunia adalah induk dari segala dosa,” (al~Hadits).
(faizal rizki/aktual/salam-online)