Film Cinta Tapi Beda Digarap tanpa Riset, Hanya Menemui Seorang Pastur
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Akhirnya terungkap sudah mengapa film “Cinta Tapi Beda” (CTB) garapan sutradara liberal Hanung Bramantyo begitu ngawur menggambarkan Islam dan Minangkabau. Rupanya film yang diproduksi Multivision itu tidak melalui riset yang mendalam.
Hal ini terungkap dalam audiensi yang dilakukan sejumlah warga dan mahasiswa Minang yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia (DPP IPPMI) dan Pengurus Pusat Keluarga Mahasiswa Minangkabau Jaya (PP KMM JAYA), di Kantor Multivision Plus, Kawasan Roxy, Jl Hasyim Ashari, Jakarta, Selasa (15/1/2013) sore.
Hadir dalam audiensi tersebut pengusaha sekaligus putri mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Fahira Idris.
Seusai melakukan audiensi, Fahira melalui akun twitternya menjelaskan tentang hasil pertemuannya dengan pihak Multivision yang diwakili oleh Public Relation & Promotion Aris Muda, Sutradara Hestu Saputra dan Bagian Legal Rulan Siri.
Pemilik rumah produksi itu, Raam Punjabi, dikabarkan sedang ke Bangkok, Thailand. Sedangkan Hanung Bramantyo, yang berposisi sebagai supervisor sutradara, tidak dijelaskan ada di mana.
Menurut Fahira, film CTB yang belakangan diprotes oleh kalangan Minangkabau, bukan hanya oleh kalangan mudanya, tetapi juga oleh tokoh-tokoh Minang yang berada di Jakarta, ternyata tidak melalui riset yang benar mengenai adat Minang.
“Ternyata memang film ini dibuat tanpa melakukan research yang benar terhadap orang Padang, mengenai orang Padang, nilai-nilai dan simbol sosialnya,” kata pengusaha yang juga Ketua Umum Saudagar Muda Mianangkabau (SMM) itu.
Untuk membuat film itu, diceritakan bahwa pihak Multivision (Hestu Saputra) hanya menemui seorang Pastur di sebuah Katedral di Pondok, Kota Padang. “Selebihnya ternyata hanya ketemu orang-orang yang tidak kompeten,” lanjut Fahira.
Tentu saja, hal ini sangat disayangkan. Menurut Fahira, mestinya sebelum film itu dibuat, Hanung dan Hestu melakukan dulu riset secara utuh dan benar. Sehingga tidak berakibat pada penghinaan terhadap Islam dan Minang.
“Tetapi penghinaan itu terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Minangkabau dan Islam karena mereka tidak mau mendalami adat Minangkabau yang benar,” tandasnya.
Fahira sendiri menduga film CTB ini merupakan sebuah grand design untuk merusak moral bangsa.
Fahira menyayangkan hal ini. Menurutnya, mestinya sebelum film CTB diproduksi, pihak yang akan membuat harus melakukan riset dahulu secara mendalam terhadap masyarakat Minangkabau. Termasuk menemui tokoh-tokohnya.
“Harusnya bila @hesstu @Hanungbramantyo mau buat film tentang orang Padang, minimal temui dulu Buya H. Mas’oed Abidin,” kata Fahira menyarankan.
Menurut Fahira, Buya H. Mas’oed Abidin adalah seorang ulama yang sangat mengerti adat #Minangkabau & sering dijadikan narasumber tentang adat istiadat Minangkabau.
“Kedua, yang harusnya ditemui sdr. @hesstu @Hanungbramantyo adalah Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam #Minangkabau). Ketiga, Bapak Azmi Dt. Bagindo. Beliau adalah Sekretaris Umum dari Lembaga Adat & Kebudayaan #Minangkabau yang ada di #Jakarta,” lanjut Fahira.
Fahira juga menyarankan supaya Hestu dan Hanung menemui budayawan Taufiq Ismail. Taufiq sendiri selama ini dikenal sangat menentang film-film karya Hanung yang dikenal liberal dan menentang Islam. (SI-Online)–salam-online