Latihan Militer, Rusia Lindungi Pengiriman Senjata Canggih ke Suriah
SALAM-ONLINE: Januari 2013 lalu, lebih dari 2 lusin kapal perang Rusia bergerak ke laut hitam untuk melakukan latihan militer.
Selanjutnya iring-iringan kapal perang ini bergerak menuju laut mediterania, melakukan latihan perang di wilayah dekat perairan Suriah. Ini merupakan pengiriman armada kapal perang terbesar yang pernah dilakukan Rusia ke wilayah tersebut.
Sebulan setelah latihan perang tersebut agen berita kementerian pertahanan Rusia menyebutkan bahwa 4 kapal besar merapat di pantai Suriah. Demikian New York Times (16/5/2013) melaporkan.
Sejumlah kalangan mensinyalir bahwa pengiriman armada besar Januari lalu itu sebenarnya merupakan iring-iringan pengiriman paket persenjataan canggih untuk rezim Basyar Asad. Pengiriman paket tersebut dikawal lusinan kapal perang untuk mencegah hal yang tak diinginkan.
“Berdasarkan hasil latihan perang di laut hitam dan laut mediterania, Rusia memutuskan untuk melanjutkan misi kapal perangnya di laut mediterania,” demikian keterangan yang dirilis Kementerian pertahanan Rusia.
Rusia memang telah lama menaruh minat untuk memiliki pangkalan militer di laut tengah, yaitu di Tartus, Suriah. Dan ketika konflik Suriah meletus, membuat Rusia mempercepat realisisasi rencana tersebut.
Maka wajar jika Rusia mendukung Basyar Asad habis-habisan, karena jika rezim Basyar ini ambruk, terlebih bila yang berkuasa adalah kelompok Islam, tidak ada jaminan bagi Rusia untuk bisa menaruh pangkalan militernya di Suriah.
Sementara di PBB, Rusia selalu memveto proposal yang diajukan oleh Dewan Keamanan PBB . Ketika tuduhan penggunaan senjata kimia oleh rezim Asad mencuat, Rusia selalu mendukung pemerintah Suriah dengan menolak usulan PBB untuk mengirim tim investigasi yang lebih luas ke Suriah—dimana Menteri Luar Negeri Rusia Sergey V. Lavrov, selalu menolak dengan mengatakan, “Jangan mempolitisir isu”, atau menegaskan, “Jangan paksakan skenario Irak di Suriah.”
Pejabat kementerian pertahanan Rusia berulangkali menegaskan bahwa pengiriman persenjataan ke Suriah hanyalah memenuhi kontrak pemesanan yang telah lama diajukan oleh pemerintah Suriah.
Memang, pemerintah Suriah sejak 2007 telah memesan senjata untuk melindungi wilayah pantai kepada pihak Rusia. Dan Suriah sempat menerima paket persenjataan tersebut di awal 2011. Paket pengirman ketika itu terdiri dari 72 misil, 36 kendaraan peluncur, serta perlengkapan pendukung lainnya.
Beberapa kali Rusia juga diketahui mengirimkan rudal SA-17, yaitu rudal dari darat ke udara kepada pemerintah Suriah. “Israel” sempat melakukan serangan udara terhadap iring-iringan truk pengangkut yang bergerak ke Damaskus pada Januari 2013 lalu.
Baru-baru ini, “Israel” dan Amerika juga mendesak Rusia agar tidak melanjutkan rencana pengiriman rudal S-300, yaitu rudal canggih untuk pertahanan udara. Rudal ini dapat dimuati hulu ledak nuklir. Analis menilai, penolakan desakan tersebut akan meningkatkan tekanan dalam tubuh militer Rusia untuk mengirimkan persenjataan canggih ke Suriah.
Beberapa pejabat di Washington khawatir pengiriman tersebut menyebabkan opsi Amerika untuk mengintervensi Suriah menjadi terhalang.
“Pengiriman persenjataan Rusia ini jelas mengecewakan dan langkah mundur dari usaha transisi kekuasaan yang merupakan solusi terbaik bagi rakyat Suriah, juga bagi kawasan tersebut,” kata Senator negara bagian Tenesse, Bob Croker kepada New York Times, Kamis (16/5/2013) malam.
Sementara Senator New Jersey Robert Menendez, menyesalkan pengiriman persenjataan Rusia tersebut dan mengatakan, “Rusia memilih mendukung penguasa diktator dan rezim yang bangkrut.”
Amerika telah beberapa kali memperingatkan Suriah bahwa penggunaan senjata kimia merupakan “garis merah” yang membatasi opsi intervensi militer. Sedangkan baru-baru ini terbukti Suriah telah menggunakan senjata kimia.
Maka opsi intervensi militer yang diancamkan Amerika tinggal selangkah lagi. Karenanya, wajar jika Rusia memutuskan untuk mempertahankan armada perangnya di laut Mediterania. (Abu Akmal Mubarok / Salam-Online)