Snouck Hurgronje, Si Munafik Tulen (bag 3)
SALAM-ONLINE: Sikap dan sokongan Snouck kepada pemerintah kolonial Belanda membuat banyak ulama Arab di Indonesia yang menulis di surat kabar Mesir, Hijaz dan Suriah, memperingatkan akan bahaya Snouck Hurgronje.
Lalu, apakah Snouck benar seorang mualaf Muslim yang kemudian menjadi “habib kulit putih” namun ia masih mendukung kolonialisme Belanda, ataukah ia memang benar-benar seorang munafik sejati yang berhasil mengelabui dan meyakinkan semua orang tentang ke-Islam-annya?
Tak heran jika terjadi kesimpangsiuran apakah Snouck benar-benar masuk Islam (namun masih bekerja pada kepentingan pemerintah Belanda) ataukah sesungguhnya ia seorang munafik sejati. G.H. Bousquet dan J. Schacht pada 1957 mengatakan:
“Snouck hidup di tengah masyarakat Arab bahkan seperti keluarganya sendiri, hidup seperti Islam menurut ketentuan Al-Qur’an yang tidak dikenal dalam tatanan kehidupan kita.” (Oeuvres choisies de C. Snouck Hurgronje, Leiden 1957).
Demikian pula artikel Schröderdi NRC Handelsblad 10 Maret 1984. Ia mengajukan argumen yang membela Snouck bahwa ia sungguh-sungguh seorang Muslim dengan mengajukan bukti surat-surat dan fatwa Snouck yang fasih mendoakan orang dan sahabatnya secara Islam.
Sejarawan O. Hasem dalam buku “Menundukkan Dunia Islam” (1968) juga meyakini serta mempertahankan pendapatnya bahwa Snouck benar-benar masuk Islam walaupun mendukung penaklukan Aceh oleh Belanda.
Namun agaknya bukti ke-pura-pura-an Snouck itu sungguh nyata terang benderang, tak bisa disamarkan. Perkara penggunaan istilah-istilah Arab sudah sering dilakukan Snouck dalam surat-suratnya kepada rekan-rekan penginjil atau teolog. Namun dalam surat itu nyata terasa bahwa istilah Arab itu ia gunakan secara “sinis” atau “ledekan”.
Sebagai contoh ketika Comte Carlo Landberg, seorang ahli sastra Arab yang menjadi saingannya dan sangat dibencinya meninggal, Snouck menulis sebagai berikut:
“Agaknya ia mengangkat Zettersteen sebagai khalifah (penggantinya) bagi karya ilmiahnya. Saya khawatir al mizan di akhirat –walau dengan kemurah–hatian Allah namun bagi Carlo tetap akan keliru dan ia akan masuk ash-habul masy-amah (golongan kiri yang masuk neraka). Jika ternyata tidak begitu, saya ingin dalam pembagian ini termasuk pada golongan kiri supaya tidak bertemu dengan Don Carlos, ab’adahu Allah (semoga Allah menyingkirkannya).”
Di sini jelas sekali penggunaan istilah-istilah Arab yang biasa terdapat dalam Al-Qur’an bukan untu menunjukkan ia Islam namun sekadar pamer pada rekan teolog lainnya bahwa ia menguasai istilah Islam dan menjadikan hal itu sebagai ledekan. (surat Snouck kepada Theodore Noldeke 6 Agustus 1924).
Dalam buku tentang masyarakat Aceh tahun 1894 Snouck menulis:
“Tidak ada peralihan agama. Bagi bangsa–bangsa dan individu–individu lebih mudah berpura-pura daripada sungguh sungguh masuk Islam. Orang dapat menjadi dan tetap merupakan anggota jamaah tanpa perlu memberikan bukti apapun tentang kedalaman iman, tentang syariat atau kesetiaan dalam pengamalannya. Mengucapkan dua kalimat syahadat membuat orang menjadi umat Muhammad, tiada seorang pun teman seimannya yang berhak memeriksa atau mempertanyakan ketulisan kesaksiannya.” (De Atjehers Jilid 2 hal 305).
Di sini Snouck melihat celah mudahnya berpura pura menjadi Islam karena tidak ada yang berhak mempertanyakan keimanannya setelah bersyahadat.
Perlu diketahui, laporan Snouck (secara rahasia) kepada pemerintah Hindia Belanda tentang masyarakat Aceh dibukukan dalam Atjeh Verslag. Namun isi laporan ini setelah di-edit sana sini diterbitkan kepada publik umum dengan judul De Atjehers. Keduanya sama-sama dua jilid. Namun pendirian dan kebencian Snouck pada Islam dan Aceh lebih nampak pada Atjeh Verslag yang bersifat rahasia pada pemerintah Hindia Belanda.
Sedangkan pada buku De Atjehers nada kebencian ini diedit. Hal ini baru terungkap ketika Dr E Gobeé menerbitkan surat-surat rahasia Snouck dengan buku berjudul Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgornje pada tahun 1965.
Lalu Van Koningsveld pada 16 November 1979 membuka rahasia tulisan Snouck Hurgronje lainnya. Hal ini menimbulkan kehebohan di negeri Belanda dan terjadi perdebatan dengan sejarawan yang selama ini menutup-nutupi (atau tidak tahu) atas kepalsuan Snouck Hurgronje.
Tahun 1905 ternyata Snouck masih menjadi seorang agnostik (percaya Tuhan namun tidak percaya pada satu agama pun), dan mengatakan pada Theodore Nöldeke:
“Saya tidak yakin bahwa dalam Injil terdapat lebih banyak ucapan ucapan pribadi Yesus apa adanya dibandingkan dalam hadits terdapat ucapan–ucapan asli Muhammad” (surat Snouck kepada Th. Nöldeke tanggal 9 Februari 1905, disimpan di perpustakaan Universitas Tübingen).
Ungkapan Snouck di atas mengandung arti, ia menganggap Injil ucapan Yesus sejajar dengan Hadits dalam Islam yang berisi ucapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia tidak yakin asli sebagaimana pula ia tak yakin keaslian ucapan Yesus.
Tahun 1906 Snouck Hurgronje pulang ke Belanda karena telah pensiun dan berniat menghabiskan masa tuanya di tanah kelahirannya. Dari 1.000 lebih surat Snouck pada semua sahabatnya, sama sekali tidak menyebut-nyebut keberadaan dua perkawinannya (atau mungkin lebih?) dan anak-anaknya selama di Hindia Belanda.
Istri pertamanya, ‘Sangkana’, meninggal tahun 1896 ketika melahirkan anak ke-5 dari Snouck Hurgronje. Dan keempat anaknya dipelihara oleh Lasmitakusuma istri bupati Ciamis. Salmah Emah sering menulis surat kepada Bapaknya di Belanda tapi Snouck jarang menjawabnya. Namun satu dua surat jawaban Snouck ada disimpan oleh anak perempuan Emah bernama T. Subrata yang masih hidup hingga kini di Bandung.
Sedangkan anak Snouck lainnya, Jusuf, dari istri keduanya bernama Siti Sadijah sempat diajak tinggal di Jakarta di jalan Kramat Sentiong, lalu menjadi polisi di Surabaya. Dr Van Der Meulen bercerita bahwa ia mempunyai seorang staf di Palembang yang bercerita bahwa saudara laki-laki tirinya yang menjadi polisi di Surabaya adalah anak Snouck Hurgronje.
Ternyata yang bekerja dengan Dr Van Der Meulen di Palembang adalah Ibrahim, anak keempat Snouck dari Sangkana. Dan yang menjadi polisi di Surabaya adalah Raden Jusuf, anak dari Siti Sadijah. Konon ketika hendak pulang ke Belanda, anak-anak Snouck sempat dibawa jalan-jalan ke mesium Gambir (sekarang Musium Gajah), kemudian Snouck berkata:
“Nak, papa akan kembali ke negeri Belanda untuk selamanya, keperluan kamu akan Papa kirim dari negeri Belanda dan kamu semua akan Papa ikutkan dalam asuransi jiwa. Bila besar kelak janganlah menggunakan nama famili Hurgronje karena mungkin dampaknya tidak bagus untuk kamu.”
Snouck rupanya menyadari, namanya akan dikenal jelek, sebagai seorang nifaq dan salah seorang sosok yang menjadi musuh Islam. Maka, ucapan terakhir Snouck pada anak-anaknya itu dapat dimengerti, kenapa dia berpesan seperti itu.
Begitulah pesan terakhir Snouck pada anak-anaknya, dan sejak itu mereka tidak pernah lagi melihat sang ayah si munafik tulen itu sampai akhir hayatnya.
Ketika kembali ke Belanda, Snouck membujang selama 4 tahun sampai akhirnya ia menikah lagi pada 1910 dengan Maria otter, seorang gadis Roma Katolik di Belanda. Dari Maria ini, tahun 1912, Snouck mendapat 1 orang anak perempuan bernama Christien.
Ia menikah secara Katolik dan dimakamkan di Leiden tahun 1936 secara Katolik pula. Hal ini membuktikan ia seorang agnostik dan munafik sejati.
Bagi Snouck tidak menjadi soal apakah menjalani prosesi Protestan, Katolik atau Islam, karena ia menganggap agama ini hanya sebagai produk budaya manusia. (abu akmal mubarok/salam-online)