Pengungsi Suriah Alami Gangguan Psikis
ALEPPO (SALAM-ONLINE): Tenda-tenda pengungsian yang tak layak dan terbatasnya bahan pangan menjadi persoalan lazim, namun pelik solusi.
Inilah kondisi yang dialami rakyat suriah yang berdiaspora menjadi pengungsi, baik di wilayah Suriah maupun beberapa negara tetangga seperti Yordania, Libanon, Turki dan beberapa negara lainnya.
“Para pengungsi menjalani hari-hari mereka dalam kondisi serba tak menentu. Kurangnya bahan pangan, tempat pengungsian yang tak nyaman, membuat mereka mudah didera stress,” kata Ketua Tim leader SOS For Syria ACT IV Doddy Cleveland Hidayat Putra.
“Sebagian besar mereka tadinya memiliki usaha dan pekerjaan, sekarang harus menjadi pengangguran. Menjalani hari-hari tanpa aktvfitas adalah situasi yang menjemukan,” tukasnya.
Menurut Doddy, secara umum sebelum terjadi perang, para pengungsi adalah mereka yang memiliki kehidupan berkecukupan, memiliki rumah yang bagus, penghasilan yang memadai dan mampu memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarga mereka. Tapi saat ini mereka harus bermutasi menjadi pengungsi.
“Mereka seolah tak percaya bahwa mereka sekarang harus menjadi pengungsi. Status pengungsi yang mereka sandang membuat mereka seolah kehilangan harga diri. Kalau dahulu mereka bisa memperoleh makanan yang mereka inginkan, membeli apa yang mereka butuhkan, tinggal di rumah yang nyaman, sekarang mereka harus berjuang untuk mendapatkan itu semua dan tentunya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan,” ujar Doddy.
“Perjuangan yang tak mudah, sehingga selain bantuan pangan dan obat-obatan para pengungsi juga membutuhkan perawatan psikis atau therapy healing untuk mengembalikan semangat dan menstabilkan kondisi psikis mereka yang terguncang,” pungkasnya. (Suriadi, ACT)
salam-online