Ini Kisah Ayah Para Pejuang dari Inggris yang Yakin Anaknya Gugur Syahid di Suriah
BRIGHTON (SALAM-ONLINE): Duduk di ruang tamu besar di rumahnya di Brighton, Inggris, Abubaker Deghayes ingat saat terakhir kali melihat anaknya yang berusia 18 tahun, Abdullah.
Pria 45 tahun tersebut telah melakukan perjalanan ke sebuah kota perbatasan di Turki pada bulan Februari untuk meminta Abdullah dan adiknya Jaffar (16) agar tidak bergabung dengan pasukan anti-rezim Asad di Suriah.
“Ketika mereka melihat saya, mereka terkejut,” ujar Deghayes. “Aku berkata: ‘Mengapa kalian pergi ke sana, itu tidak seharusnya, kalian harus tetap membantu di kamp-kamp pengungsi dan melakukan pekerjaan kemanusiaan.”
Deghayes mengatakan ia tidak berdebat dengan keduanya dan mengetahui bahwa hal itu akan semakin membuat mereka lebih keras kepala.
“Saya berbicara kepada mereka dengan baik dan mencoba untuk meyakinkan mereka. Jika mendebat mereka, mereka hanya akan meninggalkan Anda dan pergi.”
Abdullah dan Jaffar telah melakukan perjalanan ke wilayah tersebut untuk bergabung dengan saudara mereka paling tua, Amer, yang telah lebih dulu terjun ke medan Jihad di Suriah dan meninggalkan Brighton pada tahun lalu.
Namun, meskipun Deghayes telah melakukan perjalanan cukup jauh, anak-anaknya tetap dalam pendirian mereka. “Saya gagal untuk membawa mereka kembali,” ujarnya pelan.
Dua bulan kemudian Abdullah dikabarkan tertembak dalam sebuah pertempuran dengan pasukan Asad dan Amer mengalami luka serius.
Dikelilingi oleh foto anak-anaknya, Deghayes mengatakan ia tahu anaknya telah gugur syahid, isnya Allah, ketika foto jenazahnya diposting di Facebook.
“Saya merasa terkejut, sedih. Pada saat yang sama saya berharap sebagai Muslim kami yakin bahwa dia meninggal dalam pertempuran, untuk tujuan yang benar. Ia meninggal sebagai martir, Syahid, dan Tuhan akan membalasnya.”
Istrinya tidak mau berkomentar mengenai kematian anaknya. Ia menyibukkan diri menawarkan secangkir teh dan biskuit.
Deghayes datang ke Inggris dari Libya pada tahun 1980 setelah ayahnya, seorang pengacara HAM dan serikat perdagangan, dieksekusi oleh rezim Qaddafi. Saat Deghayes kecil, ayahnya pernah mengajaknya ke Brighton untuk belajar bahasa Inggris. Dan saat ia dewasa ia dan seluruh keluarganya kembali melakukan perjalanan ke Brighton.
Ketika ayahnya dibunuh oleh Qaddafi, ia melarikan diri ke Inggris, membeli rumah putih besar yang menghadap ke laut di Saltdean.
Deghayes menikahi Inas dan pasangan ini memiliki enam orang anak, lima lelaki dan satu perempuan, Aisyah, yang semuanya tumbuh dan bersekolah di Brighton.
Ia mendirikan sebuah bisnis tapi di tahun 2002 saudaranya, Omar, ditangkap di Pakistan dan diserahkan kepada pasukan Amerika sebelum dibawa ke Teluk Guantanamo.
Menurut bocoran file Guantanamo, Omar dituduh terkait dengan kelompok pejuang Islam Libya.
Deghayes dan seluruh keluarganya meluncurkan kampanye untuk pembebasannya. Namun hal itu mengarah pada permusuhan lokal, anak-anaknya sering diganggu dan rumah mereka diserang.
“Kami melalui fase dimana ada banyak gangguan, banyak rasisme,” ujarnya. “Paman mereka, saudara saya, berada di Teluk Guantanamo dan kami berkampanye untuk pembebasannya. Rumah kami sering diserang dan orang-orang mengatakan bahwa paman mereka adalah ‘teroris’.”
Upaya untuk membebaskan Omar mendapatkan dukungan dari harian lokal dan anggota parlemen lokal dan ia akhirnya dibebaskan tanpa tuduhan pada atahun 2007. Tapi hal itu telah mengambil korban (anak-anak Deghayes yang sering mengalami pelecehan).
“Setiap hari saya mendapat telepon dari sekolah, itu adalah cerita yang menyedihkan. Aku mencoba untuk tetap menciptakan konsentrasi mereka pada pendidikan. Kami terganggu oleh sekolah, pelayanan sosial.”
Deghayes berusaha menanamkan disiplin dalam diri anak-anaknya dan untuk turut campur dalam pelayanan sosial.
Meskipun masa-masa sulit ini dialami, kerabat dari keluarga Deghayes mengatakan bahwa keluarga tersebut selalu terbuka dan hangat. Salah satu remaja di lingkungan sekitar mengatakan bahwa Abdullah adalah seorang teman yang baik yang sangat dekat dengan adik kembarnya, Abdul, yang saat ini masih di Brighton.
Di sekolah mereka dikenal sebagai Abdullahs karena salah satu dari mereka disebut Abdullah dan yang lainnya Abdul. “Mereka selalu bersama-sama, Anda tidak akan pernah melihat satu tanpa yang lain,” kata Sarah, teman sekelas mereka.
Dia mengatakan si kembar selalu menerima banyak pelecehan, karena keimanan dan etnis mereka.
Tapi dia mengatakan Abdullah adalah orang baik dan keluarganya selalu ramah.
Menurut Deghayes, Abdullah sangat mencintai teman-temannya. Deghayes mengatakan Abdul telah hancur oleh berita kematian saudara kembarnya. “Dia sedih dan menangis karena kehilangan saudaranya.”
Putra bungsunya, Jaffar, menurut Deghayes jauh lebih disiplin dan lebih serius dalam urusan ibadah. Ia sering membahas situasi di Suriah dengan ibu dan saudarinya.
Amer, telah bekerja dan belajar di Brighton dan memiliki kehidupan normal remaja. Hingga Desember tahun lalu, ketika berusia 20 tahun, ia berhenti dari pekerjaannya di toko pakaian dan berangkat ke Suriah, untuk melakukan pekerjaan kemanusiaan.
“Dia pergi secara terbuka, dalam konvoi ke Suriah.”
Deghayes mengatakan ia sudah dua kali berkunjung ke Suriah untuk melakukan pekerjaan kemanusiaan dan berharap anaknya akan mengikuti jejaknya.
“Saya katakan kepadanya: ‘Mereka memiliki cukup orang untuk melawan, mereka membutuhkan bantuan lebih banyak untuk kemanusiaan. Jadi dia pergi bersama konvoi, aku berusaha sangat keras untuk memberitahunya agar tinggal dengan tim kemanusiaan daripada bergabung untuk berperang. Dia mengatakan OK.”
Namun, beberapa minggu kemudian, selama percakapan di Skype, Amer mengatakan kepada ayahnya bahwa ia telah bergabung dengan kelompok Jihad Jabhah Nushrah. Keluarganya semakin khawatir ketika Aisyah mengatakan kepadanya bahwa dua putra mereka yang lain, Abdullah dan Jaffar hilang bersama paspor mereka.
Deghayes menjadi semakin khawatir dan memutuskan untuk melacak mereka. Dia melakukan perjalanan ke sebuah kota perbatasan Turki yang dikenal sebagai pintu masuk bagi para pejuang asing.
Namun usahanya gagal, dan anak-anaknya tetap dalam pendirian mereka untuk berjuang di Suriah.
Dua bulan kemudian dia mendapat kabar bahwa salah satu putranya telah gugur syahid dan yang lainnya mengalami luka serius dalam sebuah pertempuran.
“Saya khawatir akan anak-anak saya. Saya tidak ingin kehilangan mereka, tapi mereka telah menjadi laki-laki sejati saat ini.”
Abdullah gugur syahid, insya Allah, saat terlibat pertempuran di provinsi Lattakia.
“Dia terjatuh dengan posisi terlentang, menatap langit dan tersenyum, lalu ia meninggal, itulah yang diberitahukan oleh saudaranya kepada kami.”
Amer tertembak di perut dalam pertempuran yang sama. Deghayes mengatakan saat ini kondisi putra tertuanya telah stabil sejak serangan itu.
“Dia bilang jangan sedih, dia (Abdullah) telah syahid.”
Pada hari kematian Abdullah, Jaffar mengubah foto profilnya di Facebook menjadi foto saudaranya.
Deghayes mengatakan, dia yakin Abdullah tidak menyia-nyiakan hidupnya.
“Aku mengatakan dia memiliki hidup yang pendek. Aku berbicara kepada Anda dari keyakinanku, yaitu Islam bahwa setiap orang memiliki waktu yang telah ditetapkan untuk hidup di alam semesta ini. Saya tidak akan mengatakan sia-sia. Tidak…. Saya berharap dia mati untuk sesuatu yang baik, saya pikir hidupnya tidak sia-sia.”
Saat ditanya apakah deskripsi anaknya sebagai martir mungkin mendorong remaja lain untuk melakukan perjalanan untuk bergabung dengan pertempuran, ia mengatakan bahwa itu adalah wilayah otoritas keagamaan. “Saya tidak dalam posisi untuk memberikan fatwa, tetapi sebagai orang awam saya pikir, pemerintah Inggris khawatir tentang remaja yang berjuang di sana, menggunakan senjata dan datang kembali ke Inggris dan mungkin menjadi ancaman bagi keamanan kita. Apakah ada bukti? Saya tidak melihat apapun. Jika seseorang ingin menjadi ‘teroris’, dia tidak perlu pergi ke Suriah, dia bisa melakukannya dari sini.”
“Anak saya mengorbankan hidupnya untuk apa yang terjadi di Suriah dan saya yakin dia ingin saya berbicara. Saya memutuskan untuk keluar dan berbicara dan mengatakan tolong lakukan sesuatu untuk menghentikan pembunuhan (rakyat Suriah).”
Tapi, saat ia duduk di rumahnya yang jaraknya lebih dari 2.000 mil dari medan perang dimana Abdullah telah syahid, dia mengatakan keinginan terdalamnya adalah untuk melihat Amer dan Jaffar pulang dengan selamat. (haninmazaya/arrahmah.com/guardian)
salam-online