JAKARTA (SALAM-ONLINE): Ketua Komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengatakan berulangnya kasus salah tangkap yang dilakukan oleh Densus 88 patut disayangkan dan disesalkan. Kasus salah tangkap seperti itu dinilai bisa mengurangi tingkat profesionalitas Densus 88. Apalagi, mereka yang salah tangkap juga mengalami tindak kekerasan fisik dan psikis.
“Kemarin ada lagi kasus salah tangkap. Dua orang warga Solo yang hendak ke masjid ditangkap. Setelah diperiksa, ternyata mereka bukan ‘teroris’. Sangat disesalkan ketika ditangkap mereka mengalami tindak kekerasan,” ujar Saleh Partaonan Daulay kepada salam-online, Kamis (31/12).
Menurut Saleh Partaonan, kasus salah tangkap yang dilakukan Densus 88 bukan yang pertama kali. Sebelum kasus ini, sudah pernah beberapa kali ada kasus serupa. Walaupun sudah jelas salah tangkap, namun pihak Densus 88 atau kepolisian RI secara kelembagaan belum pernah menyatakan permintaan maaf kepada korban dan juga publik.
“Pertengahan Mei tahun 2014, kasus salah tangkap juga terjadi di Solo. Ketika itu yang ditangkap adalah Kadir dari desa Banyu Harjo. Begitu juga pada akhir Juli 2013, Densus 88 juga salah menangkap dua orang warga Muhammadiyah, yaitu Sapari dan Mugi Hartanto. Sementara pada akhir Desember 2012, Densus juga salah tangkap terhadap 14 warga Poso. Saya kira masih ada beberapa kasus salah tangkap lainnya yang sempat menjadi perhatian publik,” ungkapnya.
Berkenaan dengan kasus salah tangkap ini, Saleh Partaonan meminta Kepolisian RI untuk melakukan setidaknya dua hal. Pertama, menyatakan permintaan maaf kepada korban dan keluarganya. Bagaimanapun, korban dan keluarganya tentu merasa sangat dirugikan, baik secara fisik maupun psikis.
Kedua, melakukan perbaikan dalam prosedur penangkapan terduga “teroris”. Informasi intelijen yang diberikan kepada Densus 88 harus benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, Densus 88 sebagai eksekutornya tidak melakukan kesalahan seperti itu. (EZ/salam-online)