Pembantaian di Bulan Ramadhan: Cerita ‘Sahur Berdarah’ di Gaza

Ini tentang tragedi ‘sahur berdarah’ di Gaza. Warga Palestina menceritakan bagaimana mereka bangun sahur disambut serangan udara yang membunuh lebih dari 430 orang. Serangan yang menghancurkan gencatan senjata di Gaza.

Warga Palestina berduka di depan RS Al-Shifa di Gaza pasca serangan penjajah yang membunuh ratusan orang pada Selasa (18/3) dini hari. (MEE/Mohammed al-Hajjar)

SALAM-ONLINE.COM: Pada Selasa (18/3) dini hari warga Palestina di Gaza terbangun. Dengan harapan, pagi mereka akan seperti pagi-pagi lainnya di bulan Ramadan ini. Keluarga, teman dan tetangga berkumpul. Menyiapkan makanan sahur. Untuk menjalankan ibadah puasa seharian.

Namun, militer Zionis penjajah telah berencana untuk mengotori momen ibadah Ramadhan suci ini. Mereka mau melancarkan serangan brutal ke daerah kantong Palestina bernama Gaza. Biadab. Mereka menghancurkan gencatan senjata yang sudah berlangsung hampir 2 bulan.
Setelah pukul 2 dini hari. Serangkaian serangan udara “Israel” menyasar puluhan bangunan. Tempat tinggal dan sekolah yang melindungi orang-orang terlantar di seluruh Gaza. Salah satu target pertama adalah Sekolah al-Tabaeen, yang menampung ratusan warga Palestina terlantar di Daraj, sebuah kawasan di jantung Kota Gaza..
Saat itu, akibat serangan tersebut, diketahui ada 25 warga Palestina yang gugur syahid. Termasuk wanita dan anak-anak yang berlindung di bangunan sekolah itu. Segera setelah serangan tersebut, Muhammed al-Shawish berdiri di antara kerumunan korban selamat dan penduduk setempat yang datang untuk membantu.
Al-Shawish baru saja menerima berita. Saudara perempuan dan anak-anaknya tewas dalam serangan tersebut. “Suami saudara perempuan saya tewas pada awal perang. Hari ini, mereka (penjajah) mengebom Sekolah Tabaeen (tempat ia dan anak-anaknya berlindung),” kata Shawish kepada Middle East Eye.
“Mereka (penjajah) membombardir ruang kelas. Di sebelah ruang kelas adalah tempat saudara perempuan saya tinggal. Ia tewas bersama anak-anaknya. Hanya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang selamat. Di antara mereka yang tewas adalah seorang bayi yang ayahnya tidak pernah melihatnya,” tuturnya.
Serangan sebelumnya terhadap sekolah tersebut pada Agustus tahun lalu, juga dilakukan pada dini hari. Sedikitnya 100 warga Palestina yang mengungsi kehilangan nyawa.
Di Shujaiya, sebuah kawasan di timur Kota Gaza. Sedikitnya lima warga Palestina meregang nyawa dan 10 lainnya terluka. Akibat serangan terhadap dua rumah milik keluarga Qreiqe. Di depan rumah yang hancur, seorang kerabat berbicara melalui telepon. Dengan ucapan seperti putus asa. Memohon ambulans untuk mengambil jenazah sepupunya.
“Mereka (pihak ambulans) meminta saya untuk membawanya sendiri ke rumah sakit,” katanya kepada Middle East Eye (MEE) saat menutup teleponnya. Sepupunya, Maram, selamat dari serangan di Rumah Sakit Baptis Arab al-Ahli pada Oktober 2023. Tetapi kini Maram telah tiada. 
“Jenazahnya sudah berada di sini selama lebih dari dua jam. Kami telah memanggil ambulans sejak saat itu, tetapi tidak ada ambulans yang tersedia,” katanya.
Zionis penjajah telah berulang kali menargetkan ambulans, paramedis, dan tim pencarian dan penyelamatan selama perang. Tanggap darurat menjadi sia-sia. Keluarga tersebut mencari taksi untuk mengangkut jenazah Maram. Tetapi… Sejak 2 Maret, penjajah telah memberlakukan blokade ketat di Gaza, melarang masuknya bantuan, makanan, obat-obatan, serta pasokan bahan bakar dan gas untuk memasak.
Itu berarti bahan bakar untuk mobil menjadi langka. Mengakibatkan layanan transportasi terhenti total. “Kami tidak dapat menemukan taksi atau mobil karena kekurangan bahan bakar dan blokade. Saya harus mengurus jenazah sendiri dan membawanya ke rumah sakit (untuk dimakamkan), karena kami tidak dapat menunggu lebih lama lagi,” kata sepupu Maram.
Warga Palestina berbuka puasa. Menyantap hidangan berbuka. Di dekat reruntuhan bangunan. Di Jalur Gaza utara. Pada 15 Maret 2025. Tiga hari sebelum serangan maut Zionis penjajah. (Reuters/Mahmoud Issa)

Jenazah menunggu pemakaman

Puluhan jenazah telah tiba di rumah sakit al-Shifa di Kota Gaza. Sebagian besar telah diidentifikasi dan telah dibaringkan di lantai. Menunggu pemakaman.

Meskipun jumlah pasti korban masih belum diketahui. Puluhan orang masih hilang atau terjebak di bawah reruntuhan, Kementerian Kesehatan Gaza telah mengonfirmasi. Lebih dari 430 warga Palestina telah mereguk syahid, dengan izin Allah. Sementara 562 lainnya terluka dalam serangan yang sedang berlangsung.

Di halaman rumah sakit, Abdulsalam Ahmed al-Sahwish berdiri memandangi mayat-mayat yang ditutupi kain kafan, plastik putih dan biru.

Baca Juga

“Kami hanya menginginkan gencatan senjata. Kami menyerukan kepada semua pihak yang terkait untuk melakukan gencatan senjata, kami tidak menginginkan yang lain,” ucap Sahwish.

Setelah serangan awal, militer penjajah mengeluarkan perintah pengusiran massal kepada penduduk di berbagai wilayah di Jalur Gaza, termasuk Beit Hanoun, Khuzaa, dan Abasan.

Saat ratusan keluarga meninggalkan wilayah yang ditentukan, warga Palestina di tempat lain juga mulai berkemas. Mengantisipasi perintah lebih lanjut.

Untuk pertama kalinya dalam hampir dua bulan, jalan-jalan utama Kota Gaza nyaris kosong. Hanya beberapa orang di sana-sini yang terlihat menimbun makanan. Untuk bersiap menghadapi yang terburuk.

Namun, pemandangan di sekitar beberapa rumah sakit yang tersisa di Gaza sangat berbeda. Jalan-jalan dipenuhi orang-orang yang panik dan ambulans yang bergegas.

Seorang pria Palestina duduk di samping jenazah kerabatnya yang terbunuh dalam serangan Zionis penjajah di Kota Gaza, 18 Maret 2025. (MEE/Mohammed al-Hajjar)

Em Firas Salama, seorang warga di kawasan Sheikh Radwan di utara Kota Gaza. Ia bergegas ke pasar tak lama setelah matahari terbit. Berharap bisa mengamankan makanan sebelum persediaan habis.

Sambil membawa kantong plastik berisi dua botol minyak goreng, beras dan gula, ibu lima anak itu mengatakan bahwa ia hampir tidak mampu membeli kebutuhan pokok. “Pasar hampir kosong. Saya bahkan tidak dapat menemukan bahan makanan paling pokok. Dan ketika saya menemukannya, harganya sangat tinggi, kami tidak mampu membelinya,” katanya kepada MEE.
Salama mengatakan, ia biasanya bangun terlebih dahulu sekitar satu jam sebelum suami dan anak-anaknya. Untuk menyiapkan sahur.
“Namun kali ini, kami semua terbangun karena suara bom besar-besaran di setiap arah. Kami tidak tahu apa yang terjadi, karena situasinya tampak baik-baik saja ketika kami mau tidur. Kemudian, kami mengetahui bahwa penjajah ‘Israel’ telah mengumumkan dimulainya kembali perang,” katanya.
“Jujur saja, kami tidak ingin makan apa pun saat sahur kali ini setelah mendengar berita bahwa ratusan orang telah terbunuh. Ini seperti perang lagi.” (mus)
Baca Juga