Menolak Meninggalkan Desanya di Lebanon, Nenek Ini Ditembak Mati Pasukan ‘Israel’ di Rumahnya

SALAM-ONLINE.COM: Seorang pria menggali sepatu hitam mungil milik ibunya yang sudah tiada dari tumpukan reruntuhan. Yang dulunya adalah rumahnya. Ia memegang sepatu itu dengan lembut. Lalu mencium ujungnya dengan penuh kasih sayang.
Nama ibunya adalah Najwa Ghacham. Seorang wanita yang sangat mandiri. Selama satu tahun tiga bulan, Najwa menolak meninggalkan rumahnya di desa Yaroun di Lebanon selatan. Meskipun zionis penjajah membombardir dan bertempur di sekitarnya.
“Ia sangat mencintai rumahnya,” kata putranya, Nour Ghacham (48 tahun) kepada Middle East Eye (MEE) yang memberitakannya pada Senin (21/4/2025). Jelas, ia sangat menyayangi ibunya.
Nour Gracham mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan foto rumah ibunya dulu. Rumah itu berlantai dua. Terbuat dari batu putih, dengan sirap terakota dan jendela berwarna biru langit.
Semak berbunga ungu tumbuh di atas gerbang halaman depannya. Sementara pohon pinus tumbuh di trotoar. Cabang-cabangnya membentang di atas atapnya.
Wali kota dan istrinya, Laila Tahfa ( 53), tinggal di sebelah rumah nenek itu. Tahfa mengatakan dia ingat melihat Najwa menghabiskan waktu berjam-jam menyapu halaman depan rumahnya dan trotoar di sebelahnya, atau merawat kebunnya.
“Rumahnya bagaikan kerajaan baginya, tidak ada yang penting di luar sana,” kata Tahfa kepada MEE.
Ia menceritakan “kenangan indah”-nya bersama Najwa, yang katanya telah ia kenal selama bertahun-tahun.
“Di usianya yang sekitar 70 tahun, (Najwa) tetap bersemangat dan selalu ingin berbagi cerita,” tuturnya.
Ketika perang meletus, Tahfa mengatakan, mereka mencoba untuk membuatnya mengungsi demi keselamatannya. Tetapi ia selalu menolak.
“Ia akan berkata, ‘Saya tidak mendengar (suara bom), saya hanya ingin berada di rumah saya’,” ungkap Tahfa menirukan ucapan Najwa.
Pada satu titik, petugas medis berusia 28 tahun Mohammad Salman, dan tim penyelamatnya, berhasil meyakinkan Najwa untuk pergi meninggalkan rumahnya. Tetapi tak kemudian ia kembali ke rumahnya.
“Demi Tuhan, ia kembali berjalan kaki,” cerita Salman.
‘Mereka (penjajah) tidak perlu menembaknya’
Salman termasuk di antara mereka yang secara berkala mengecek keadaan Najwa selama perang. Mengirimkan makanan, air, dan kebutuhan pokok lainnya.
Namun, setelah gencatan senjata dimulai pada 27 November 2024, pasukan “Israel” tetap berada di Yaroun. Salman mengatakan bahwa setiap kali mereka mencoba memasuki desa untuk menghubunginya, pasukan zionis melepaskan tembakan, menghalangi jalan masuk mereka selama 30 hari.
Ketika mereka akhirnya berhasil masuk pada 27 Desember, Salman menemukan Najwa di rumahnya dalam keadaan sudah tiada. Salman mengatakan, Najwa telah ditembak tiga kali. Tubuhnya dipenuhi memar seolah-olah dia telah dipukuli atau diinjak.
“Saya melihat mayatnya,” katanya. “Dia seorang wanita tua. Mereka (penjajah) tidak perlu menembaknya.”
Salman membantu mengangkut jenazahnya ke Rumah Sakit Pemerintah Tebnine, rumah sakit besar terdekat dengan desa tersebut.
Laporan medis dari rumah sakit menerangkan, Palang Merah Lebanon membawa Najwa setelah terpapar agresi ‘”Israel”.
“Dia meninggal akibat cedera di kepala, perut dan dada, serta patah tulang terbuka di paha kiri,” kata laporan itu.
MEE meminta komentar dari tentara “Israel” tentang kematian Najwa, tetapi mereka tidak menanggapi.
‘Dia mencintai tanahnya’
Putra Najwa, Nour, memilah-milah reruntuhan rumah masa kecilnya di Yaroun. Di salah satu sudut tumpukan, ia melihat jeruji oven. Ia mengatakan area itu dulunya adalah dapur. Tempat ia biasa duduk berjam-jam bersama ibunya.
“Setelah selesai memasak, dia akan membersihkan, lalu menikmati waktu berdiam diri,” kenangnya.
Nour meninggalkan Yaroun ke Venezuela bersama kedua saudara laki-lakinya dan ayahnya pada tahun 1991, ketika “Israel” menduduki desa tersebut. Dia baru berusia 14 tahun saat itu, katanya, tetapi masih ingat tank Merkava “Israel” yang bisa dilihatnya dari balkon rumahnya.
Najwa sendiri menolak untuk pergi ke Venezuela. “Dia berasal dari jantung negara, dia tidak ingin tinggal di luar (Lebanon),” katanya. Dia biasa kembali secara berkala bersama ayahnya untuk mengunjunginya.
“Dia selalu sibuk,” katanya, tidak hanya mengurus pekerjaan rumah tangga tetapi juga pohon zaitun kesayangannya. Setiap tahun, Nour mengatakan, Najwa akan menghasilkan sekitar delapan kendi besar minyak zaitun.
“Dia merawat pohon zaitunnya. Pohon-pohon itu tumbuh besar, dan dia akan memanennya,” ungkapnya. “Dia mencintai tanahnya.”
‘Kami akan kembali besok’
Mukhtar Yaroun (pejabat lokal di Yaroun yang bertanggung jawab atas catatan/adminitrasi), bernama Mohammed Chahine (51 tahun), berdiri di depan reruntuhan rumah Najwa. Ia mengatakan bahwa ia menjadi dekat dengan Najwa selama perang, ketika ia membawakannya makanan dan barang-barang rumah tangga lainnya.
Segera setelah 8 Oktober 2023 — ketika “Israel” dan milisi Hizb mulai bertempur di Lebanon — banyak kerabat Najwa di Yaroun melarikan diri ke Beirut, dan takut untuk kembali.
Jadi, Chahine akan mengetuk pintu rumah Najwa, dengan pena dan buku catatan di tangan, untuk menuliskan apa yang ia butuhkan. Ia meminta daging dan sayuran, katanya — tetapi yang terpenting, ia meminta sekotak kue wafer.
“Saya biasa membawakannya lima atau enam kotak setiap bulan,” kenangnya sambil tersenyum. “Ia hidup dari teh dan kue.”
Pertempuran dan serangan udara meningkat di Yaroun setelah 23 September 2024 ketika “Israel” meningkatkan serangannya terhadap negara itu. Menyebabkan Chahine tak dapat mengunjungi Najwa.
Namun, katanya, “Saya selalu merasa dia masih hidup karena dia tahu bagaimana menjalani hidup dalam situasi seperti ini.”
Dua bulan kemudian, ini adalah hari ketika gencatan senjata mulai berlaku. Chahine bergegas untuk memeriksa keadaan Najwa.
“Beruntung, kami menemukannya dalam keadaan hidup,” katanya, “kami pikir (perang) sudah berakhir. Kami mengatakan kepadanya, ‘kami akan kembali besok’.”
Namun, hari esok tak jadi datang karena keadaan (serangan) “Israel” yang meningkat. Pasukan penjajah itu tak mengizinkan Chahine memasuki desa Yaroun.
“Hari kedua, kami datang ke Yaroun dan mereka (penjajah) mulai menembaki kami. Mereka tidak mengizinkan kami masuk ke desa,” ujar Chahine.
Serangan “Israel” terhadap Yaroun meningkat, dan Chahine bergegas mengevakuasi Najwa. Ia menghubungi Palang Merah dan UNIFIL, pasukan penjaga perdamaian PBB yang ditempatkan di Lebanon selatan, memberi tahu mereka bahwa seorang warga sipil terjebak di desa tersebut.
Pada upaya pertama memasuki desa tersebut, mereka dihadang oleh tembakan “Israel”. Dua pekan kemudian, mereka berhasil mencapai kediaman Najwa, tetapi hanya mendapati Najwa telah tertembak di rumahnya.
Chahine mengatakan waktunya bersama Najwa terbilang singkat. Percakapan mereka jarang lebih mendalam daripada sekadar barang-barang penting dan kue wafer. Namun, kematian Najwa telah meninggalkan kekosongan di dalam dirinya.
“Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam diri saya,” ungkap Chahine. “Saya sangat merindukannya. Saya harap dia berada di tempat yang baik sekarang. Saya yakin dia berada di tempat yang baik karena dia tidak pernah menyakiti siapa pun.”
Kabar (kematiannya) seperti sambaran petir
Kisah kematian Najwa menghantui penduduk desa Yaroun.
“Orang ‘Israel’ tahu sejak hari pertama bahwa dia tinggal di sana, sendirian, dan mereka tidak menyerangnya atau melakukan apa pun,” kata Chahine.
“Saya tidak tahu mengapa mereka masuk ke rumahnya, memukulinya, dan menembaknya hingga menyebabkan kematiannya,” katanya. “Dia tidak membahayakan siapa pun.”
Tetangga Najwa, Tahfa, mengatakan, “Berita (kematiannya) itu seperti sambaran petir. Itu sangat sulit karena kami menunggu dia keluar dalam keadaan baik, dan mengirimkan ucapan selamat kepadanya.”
Tahfa juga merenungkan mengapa pasukan “Israel” memasuki rumahnya. “Dia tidak memiliki senjata, juga di sana tidak ada anggota pasukan (milisi Hizb Lebanon),” katanya. “Mengapa mereka (“Israel”) membunuhnya di dalam rumahnya?”
Selama masa gencatan senjata 60 hari — saat Najwa terbunuh — “Israel” menggempur Yaroun dengan serangan udara. Tahfa mengatakan bahwa 90 persen bangunan di desa itu hancur total. Sebagian besar kerusakan terjadi selama dua bulan tersebut.
“Sepuluh persen rumah yang tersisa di desa itu juga rusak. Banyak di antaranya terbakar,” imbuh Tahfa.
Setelah masa gencatan senjata berakhir, “Israel” mengatakan akan tetap berada di lima titik strategis di Lebanon selatan “tanpa batas waktu”.
Rumah Tahfa dihancurkan pada 9 Februari. Pasukan penjajah “Israel” tetap ditempatkan di desa itu setelah batas waktu penarikan pasukan pada 26 Januari yang ditetapkan oleh perjanjian gencatan senjata.
“Israel” akhirnya menarik pasukannya dari Yaroun pada 18 Februari. Tetapi masih tetap ditempatkan di lima posisi lain di sepanjang perbatasan. Sepekan kemudian, Menteri Pertahanan penjajah, Israel Katz, mengumumkan bahwa tentaranya akan “tetap berada di sana tanpa batas waktu” di zona penyangga di Lebanon selatan, yang dibangun melalui penghancuran desa-desa perbatasan seperti Yaroun secara luas.
“Bayangkan Anda berdiri di pintu masuk tanah Anda, seolah-olah di depan layar, menyaksikan mereka menghancurkan rumah Anda, beserta kenangan anak-anak dan keluarga Anda di dalamnya,” kata Tahfa.
Zaitun Najwa
Kembali ke reruntuhan rumah Najwa. Putranya, Nour, mengenang masa kecilnya. “Negara ini, keluarga, dan segala sesuatu di sekitarku di Yaroun terasa seperti rumah. Aku bersekolah, bermain di luar, dan menendang bola di sekitar sini — momen yang sederhana dan alami,” unhkap Nour.
Di garasi, ia melihat bongkahan batu tempat saudaranya menuliskan namanya saat mereka berangkat ke Venezuela, tahun 1991. Ia juga menulis “Yaroun” di samping namanya.
Nour melanjutkan ke halaman belakangnya. Berjalan-jalan di antara pohon zaitun kesayangan ibunya. Beberapa telah hancur. Kemungkinan besar akibat ledakan yang juga meratakan rumah Nawja.
Pohon-pohon yang masih berdiri tumbuh terlalu besar. Cabang-cabangnya terseret dan tertutup debu putih.
“Andai saja ibuku ada di sini, andai saja ia masih hidup, ia pasti sudah membersihkan dan merawat pohon-pohon itu. Ia akan berkata, ‘Wah, taman yang indah sekali!’,” katanya.
“Siapa yang akan merawatnya sekarang? Mereka (“Israel”) telah merampas semuanya.” (mus)