Untuk Kebebasan Akademis, Universitas Tufts di AS Nyatakan Dukungannya terhadap Mahasiswi Turki yang Ditahan

Rumeysa Ozturk ditahan oleh petugas Imigrasi dan Bea Cukai AS yang bertopeng pada 25 Maret 2025 (Reem Alattas)

SALAM-ONLINE.COM: Universitas Tufts telah memberikan dukungannya terhadap kasus hukum Rumeysa Ozturk. Untuk itu, kampus yang berada di negara bagian Massachusetts, timur laut AS itu menuntut pembebasannya segera, agar ia dapat menyelesaikan studinya.

Dengan demikian, Tufts jadi universitas pertama yang melakukan pembelaan terhadap mahasiswanya setelah ditangkap dan ditahan oleh agen imigrasi federal AS karena aktivitas pro-Palestinanya.

Dalam sebuah pernyataan pada Kamis (3/4/2025) di Pengadilan Distrik AS untuk Massachusetts, Presiden Universitas Tufts, Sunil Kumar, seperti dilansir Middle East Eye (MEE), Kamis (3/4) mengatakan bahwa Tufts menginginkan keringanan agar mahasiswinya (asal Turki), Rumeysa Ozturk, dibebaskan tanpa penundaan sehingga ia dapat kembali menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar doktoralnya.

Pernyataan Kumar merupakan bagian dari petisi yang diamendemen yang diajukan ke pengadilan.

Memberikan informasi latar belakang, Kumar menyatakan, “Dengan persetujuannya (Ozturk), universitas dapat mengonfirmasi bahwa Ozturk adalah mahasiswa doktoral tahun ketiga dengan prestasi akademik dan administratif yang baik…. Ia digambarkan oleh fakultasnya sebagai mahasiswa pekerja keras yang berdedikasi pada studinya dan komunitas Tufts.”

Kumar menambahkan universitas tidak memiliki informasi untuk mendukung tuduhan bahwa ia terlibat dalam aktivitas di Tufts yang mengharuskan penangkapan dan penahanannya.

Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa telah ada curahan dukungan komunitas untuk Ozturk.

“Mereka menggambarkan Ozturk sebagai anggota komunitas yang berharga, berdedikasi pada kegiatan akademisnya dan berkomitmen pada rekan-rekannya,” ujar Kumar.

Kumar mengonfirmasi bahwa Ozturk adalah salah seorang dari beberapa penulis opini di surat kabar mahasiswa, The Tufts Daily, yang diterbitkan pada 26 Maret 2024.

Opini tersebut telah dikutip sebagai alasan potensial untuk penargetannya karena ia tidak ikut serta dalam protes pro-Palestina. Tetapi, kata Kumar, artikel tersebut tidak melanggar kebijakan apa pun.

“Universitas menyatakan bahwa opini ini tidak melanggar kebijakan Tufts mana pun. Lebih lanjut, tidak ada keluhan yang diajukan kepada Universitas atau, sepengetahuan kami, di luar Universitas tentang opini ini. Universitas menyatakan bahwa opini tersebut konsisten dengan ucapan yang diizinkan oleh Deklarasi tentang Kebebasan Berekspresi yang diadopsi oleh wali amanat kami pada 7 November 2009.”

Ia menambahkan bahwa universitas tidak memiliki informasi yang menunjukkan bahwa ia melanggar pemahamannya terhadap Undang-Undang Imigrasi dan Naturalisasi. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa Universitas Tufts telah mensponsori lebih dari 1.800 orang dengan visa F-1. Lantaran kasus ini, ujar Kumar, komunitas mahasiswa internasional hidup dalam ketakutan.

“Universitas telah mendengar dari para mahasiswa, fakultas, dan staf yang tidak berkesempatan untuk berbicara di konferensi internasional dan menghindari atau menunda perjalanan internasional. Dalam kasus terburuk, banyak yang melaporkan bahwa mereka takut meninggalkan rumah mereka, bahkan untuk menghadiri dan mengajar kelas di kampus.

Beda pendapat tentang yurisdiksi

Pengacara Ozturk berpendapat bahwa kasusnya harus ditangani oleh pengadilan federal di Massachusetts atau di Vermont — tempat ia ditahan saat hakimnya mengajukan petisi habeas (petisi yang menyatakan seseorang tidak bisa dipenjarakan atau ditangkap dengan semena-mena tanpa bukti bahwa ia telah melakukan kesalahan). Sementara pengacara pemerintah AS mengatakan kasusnya harus dibatalkan dan diajukan ke hakim imigrasi.

Baca Juga

Pengacara Departemen Kehakiman menyatakan bahwa Ozturk telah dipindahkan ke Vermont saat Hakim Distrik AS Denise Casper di Boston memerintahkan pihak berwenang untuk menahannya di Massachusetts dan tidak ada “kamar tidur” yang tersedia baginya untuk tinggal di New England (wilayah bagian timur laut Amerika Serikat).

Mereka mengatakan pengacara Ozturk harus mengajukan petisi aslinya di Vermont, wilayah hukum tempat ia ditahan saat pengajuan, atau di Louisiana, tempat ia ditahan saat mereka mengubah petisi mereka.

“Tempat penahanan tidak dapat dihapuskan sebagai aturan yang sudah lama berlaku,” kata asisten jaksa AS Mark Sauter memberi tahu hakim Denise Casper.

Namun pengacara Ozturk mengatakan saat mereka mengajukan petisi, mereka tidak tahu di mana ia (Ozturk) berada. Mereka juga mencatat petisi diajukan saat Ozturk berada di dalam kendaraan yang berada dalam kendali pejabat Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) yang berpusat di Massachusetts, sehingga menjadikan pengadilan Boston sebagai tempat yang tepat.

Pengacara Ozturk mengatakan jika hakim tidak setuju, maka kasus tersebut harus dipindahkan ke Vermont. Mereka mengatakan penahanan tersebut melanggar hak konstitusional Ozturk. Termasuk kebebasan berbicara dan proses hukumnya. Mereka meminta hakim untuk memerintahkan agar dia segera dikembalikan ke Massachusetts dan dibebaskan dari tahanan.

Kasus tersebut ditunda setelah sidang untuk memberi kesempatan kepada hakim Casper mengambil keputusan.

Siapa Rumeysa Ozturk?

Rumeysa Ozturk adalah warga negara Turki, seorang perempuan berusia 30 tahun. Ia dengan visa pelajar di AS saat ini ditahan di Pusat Pemrosesan Louisiana Selatan.

Ozturk ditahan oleh aparat Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) yang berpusat di Massachusetts pada tanggal 25 Maret 2025. Agen ICE mendekati dan menahan secara fisik mahasiswa doktoral dan asisten peneliti Universitas Tufts di Massachusetts itu.

Departemen Keamanan Dalam Negeri dan ICE mengatakan bahwa ia ditahan karena “mendukung” Hamas, tetapi belum memberikan bukti secara terbuka atas tuduhan mereka. Mahasiswi doktoral dari Turki itu juga tidak didakwa dengan kejahatan apa pun.

Ozturk terdaftar di Departemen Studi Anak dan Pengembangan Manusia Eliot-Pearson di Universitas Tufts. Ia meraih gelar master dari Teachers College Universitas Columbia dan lulus dari program psikologi perkembangan dengan fokus pada media anak-anak pada tahun 2020.

Ia adalah penerima beasiswa dari program Fulbright Scholar yang bergengsi, yang bertujuan untuk meningkatkan saling pengertian antara warga Amerika dan masyarakat lain di seluruh dunia.

Teman-teman Ozturk yakin bahwa ia mungkin telah menjadi sasaran kampanye doxxing (tindakan mengungkapkan dokumen pribadi untuk aksi protes, tindakan main hakim sendiri atau mempermalukan orang lain) karena ia ikut menulis artikel opini terkait dukungannya terhadap Palestina pada Maret 2024 di surat kabar universitas, Tufts Daily.

Foto Ozturk dan informasi pengenal lainnya diunggah di Canary Mission pada Februari lalu. Canary Mission adalah situs web yang mendokumentasikan individu dan organisasi yang dianggap “antisemit”. Para kritikus mengatakan misi situs web tersebut adalah untuk “menjelek-jelekkan” dan “mengungkapkan identitas” mahasiswa pro-Palestina dan menekan kritik terhadap “Israel”.

Presiden Donald Trump telah berjanji untuk mendeportasi pengunjuk rasa asing pro-Palestina dan menuduh mereka sebagai antisemitisme, mendukung Hamas, dan menjadi ancaman bagi keamanan nasional.(is)

Baca Juga