Begini Rencana Jahat ‘Israel’ terhadap Warga Palestina di Gaza

Penerapan “Kereta Perang Gideon” berarti pendudukan atas Gaza oleh “Israel” tanpa batas waktu

SALAM-ONLINE.COM: Rezim zionis penjajah pada Senin (5/5/2025) meluncurkan strategi militer terbarunya untuk Jalur Gaza, yang diberi nama ‘Gideon’s Chariots’ (Merkavot Gideon/Kereta Perang Gideon).

Rencana jahat ini seperti dilansir TheNewArab, Senin (5/5) telah disetujui dengan suara bulat oleh seluruh menteri di kabinet penjajah. Rencana tersebut memformalkan apa yang oleh para kritikus digambarkan sebagai cetak biru untuk pendudukan/penjajahan permanen, pemindahan massal, dan perluasan kekerasan terhadap warga Palestina yang terkepung dan terlantar di Jalur Gaza.

Zionis “Israel” mengatakan bahwa mereka akan memberi Hamas waktu hingga berakhirnya perjalanan Presiden AS Donald Trump ke Timur Tengah, yang akan berlangsung 10 hari dari sekarang, atau “Operasi ‘Kereta Perang Gideon’ akan dimulai dengan kekuatan besar dan tidak akan berakhir sampai semua tujuannya tercapai”.

Namun, jenis kesepakatan yang diharapkan “Israel” untuk diterima Hamas masih belum jelas. Mengingat kelompok pejuang kemerdekaan Palestina tersebut telah menerima rencana gencatan senjata komprehensif yang akan membuat setiap sandera “Israel” dikembalikan sebagai imbalan atas diakhirinya perang.

Pejabat penjajah menggambarkan Gideon’s Chariots sebagai misi untuk membubarkan Hamas dan menyelamatkan sandera.

“Pendudukan” diubah namanya menjadi “Keamanan”

Menurut seorang pejabat senior penjajah yang berbicara kepada media “Israel”, rencana tersebut melibatkan kekuatan yang sangat besar melalui darat, laut dan udara. Termasuk penggunaan alat berat untuk menghancurkan infrastruktur apa pun di Gaza yang dianggap sebagai ancaman oleh militer penjajah itu.

Tidak seperti serangan sebelumnya, pasukan penjajah tidak akan mundur setelah operasi militer berakhir. Sebaliknya, tentara akan tetap berada di semua wilayah yang direbutnya tanpa batas waktu–mengubah sebagian besar wilayah Gaza menjadi zona penyangga yang diperluas, atau seperti yang digambarkan secara menyeramkan oleh beberapa pejabat penjajah sebagai sabuk keamanan yang “disanitasi”.

Pejabat penjajah tersebut mengonfirmasi bahwa wilayah yang dibersihkan oleh militer akan mengikuti “model Rafah”–eufemisme untuk penghancuran total lingkungan sipil dan penggabungannya ke dalam zona yang dikuasai “Israel”.

Bahasa seperti itu mencerminkan perubahan tidak hanya dalam taktik, tetapi juga dalam ambisi politik, yaitu aneksasi lambat sebagian besar wilayah Gaza dengan kedok keamanan.

Menteri Keuangan penjajah, Bezalel Smotrich, tidak memberikan ruang untuk ambiguitas saat berbicara di sebuah konferensi di Yerusalem.

“Kami menduduki Gaza untuk bertahan,” tegasnya. “Tidak ada lagi yang keluar masuk. Ini adalah perang untuk meraih kemenangan.”

Ia melangkah lebih jauh, dengan menyatakan bahwa orang “Israel” harus berhenti takut dengan kata “pendudukan”. Ia mengklaim bahwa “masyarakat yang ingin hidup harus menduduki tanahnya”–yang secara gamblang menunjukkan bahwa Gaza dianggap sebagai bagian dari wilayah “Israel”.

Pengungsian paksa sebagai sebuah kebijakan

Pilar utama rencana tersebut adalah pemindahan (kata halus dari pengusiran) massal secara paksa kepada warga Palestina di Gaza.

Meskipun pejabat “Israel” menggambarkannya sebagai “relokasi sukarela”, maksud dan skalanya jelas mengarah pada pemindahan (pengusiran) paksa dan pembersihan etnis. Warga sipil akan didorong ke selatan dan digiring ke zona yang dikontrol ketat di bawah pengawasan “Israel”. Ini merupakan pelanggaran hukum internasional.

Baca Juga

Sementara di sisi lain, bantuan kemanusiaan sudah sangat dibatasi sehingga menyebabkan kelaparan.

Menurut rencana, pengiriman bantuan kemanusiaan hanya akan dilanjutkan setelah operasi militer dimulai dan penduduk telah mengungsi. Bahkan saat itu, bantuan hanya akan didistribusikan melalui kontraktor sipil yang disetujui oleh militer penjajah, di daerah aman dan penerima bantuan disaring–sebuah tindakan yang menurut kelompok hak asasi manusia merupakan pemaksaan dan penggunaan bantuan dijadikan alat sebagai senjata perang.

Propaganda dan simbolisme

Dalam wacana Ibrani, “Gideon” merujuk pada pejuang Alkitab yang memimpin beberapa orang terpilih untuk memusnahkan orang Midian–orang Arab kuno–yang menjadikan Operasi Kereta Perang Gideon sebagai bentuk pembalasan ilahi dan penaklukan etnis. Nama itu sarat dengan kekerasan historis, yang sekarang digunakan kembali untuk membingkai serangan militer modern.

Istilah Merkavot–yang berarti kereta perang–melapisi simbolisme ini dengan ancaman. Istilah ini membangkitkan instrumen perang mistis dan tank Merkava “Israel” yang telah lama menghancurkan rumah dan kehidupan di Gaza dan Tepi Barat. Penggabungan mitos teologis dan peperangan mekanis menggarisbawahi kampanye yang dilancarkan dengan bahasa perang suci dan alat pemusnah massal.

Beberapa orang “Israel” mencemooh nama itu, dan menafsirkannya sebagai anggukan yang mementingkan diri sendiri kepada Menteri Luar Negeri penjajah, Gideon Saar, yang secara mengejek dijuluki sebagai “pahlawan yang menyelamatkan pemerintahan Netanyahu”. Namun, bahkan dalam candaan, retorika itu mengungkap arus bawah yang lebih gelap.

Menurut media “Israel”, Ynet, saat rapat kabinet terkait nama operasi itu, seorang menteri menyindir bahwa operasi itu seharusnya disebut “Biarkan aku mati bersama orang Filistin”. Ini sebuah referensi yang tidak menyenangkan kepada penduduk kuno Gaza, yang menjadi asal muasal nama orang Palestina.

Perdana Menteri penjajah Benjamin Netanyahu dikatakan telah menolak saran itu dengan kalimat yang mengerikan: “Tidak. Kami tidak ingin mati bersama mereka. Kami ingin mereka mati sendirian.”

Pernyataan itu, sebagian berupa candaan yang tidak serius, sebagian lagi dengan niat genosida, menyingkap pola pikir bahwa kekerasan yang disetujui diselubungi oleh kitab suci dan sarkasme di mana penghapusan suatu bangsa bukan hanya kebijakan, tetapi juga sebuah lelucon.

Perang tanpa akhir?

Gagal mencapai semacam kesepakatan damai, Gideon’s Chariots merupakan perubahan mendasar dalam pendekatan “Israel” dalam perang yang menghancurkan di Gaza –dari pengepungan menjadi penyitaan dan dari invasi sementara menjadi pendudukan.

Kelompok hak asasi manusia, pengamat internasional dan pakar hukum memperingatkan bahwa rencana itu melintasi wilayah di mana strategi militer menjadi kedok pembersihan etnis dan pendudukan.

Tentu saja Hamas mengecam rencana Gideon’s Chariots “Israel” itu. Kelompok pejuang Palestina ini menuduh rencana jahat penjajah ini menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai kedok perampasan tanah dan pemindahan paksa.

Hamas juga menyatakan rencana itu menyingkap kepalsuan klaim “Israel” tentang distribusi bantuan. Sebaliknya membingkainya sebagai bagian dari strategi pendudukan dan pembersihan etnis yang lebih luas.

Sementara itu, keluarga sandera “Israel”–yang katanya dijadikan alasan utama operasi tersebut–bereaksi dengan marah. Banyak yang melihat rencana itu sebagai pengkhianatan, mengorbankan orang-orang yang mereka cintai demi tanah dan keuntungan politik.

Kemarahan mereka memuncak oleh pernyataan Menteri Keuangan penjajah Bezalel Smotrich baru-baru ini bahwa membebaskan para sandera “bukanlah tujuan yang paling penting”. (is)

Baca Juga