Pembantaian Berlanjut di Sudan, Selain Didukung ‘Israel’, PBB Sebut RSF Dapat Bantuan Senjata dari UEA

SALAM-ONLINE.COM: Para penyintas yang melarikan diri dari kota El-Fasher di Sudan mengatakan pada Sabtu (1/11/2025) bahwa milisi paramiliter RSF dukungan “Israel” dan Uni Emirat Arab (UEA) memisahkan keluarga dan membunuh anak-anak di depan orang tua mereka. Sementara puluhan ribu orang masih terjebak setelah jatuhnya kota tersebut.

Dilansir AFP, Sabtu (1/11), diplomat tinggi Jerman, Johann Wadephul, menggambarkan situasi di Sudan sebagai “apokaliptik” (menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi). Sementara citra satelit terbaru menunjukkan pembunuhan massal masih berlangsung, lima hari setelah Pasukan Dukungan Cepat paramiliter (RSF) merebut El-Fasher.

Berperang dengan tentara reguler sejak April 2023, RSF mendesak militer keluar dari benteng terakhirnya di wilayah Darfur yang luas setelah pengepungan yang melelahkan selama 18 bulan.

Sejak pengambilalihan tersebut, muncul laporan tentang eksekusi singkat, kekerasan seksual, serangan terhadap pekerja bantuan, penjarahan, dan penculikan. Sementara sarana komunikasi sebagian besar masih terputus.

“Saya tidak tahu apakah putra saya, Mohamed, masih hidup atau sudah meninggal. Mereka membawa semua anak laki-laki itu,” ujar Zahra, seorang ibu enam anak yang melarikan diri dari El-Fasher ke kota terdekat, Tawila, kepada AFP dalam wawancara melalui telepon satelit.

Sebelum mencapai kota Garni yang dikuasai RSF di dekatnya, ia mengatakan para milisi RSF menghentikan mereka dan membawa dua putranya, yang berusia 16 dan 20 tahun.

“Saya memohon agar mereka dilepaskan,” katanya, tetapi para milisi itu hanya melepaskan putranya yang berusia 16 tahun.

Korban selamat lainnya, Adam, mengatakan dua putranya, yang berusia 17 dan 21 tahun, dibantai di hadapannya.

“Mereka memberi tahu bahwa mereka telah bertempur (untuk tentara), lalu mereka (RSF) memukul punggung saya dengan tongkat,” katanya seperti dilansir AFP, Sabtu (1/11).

Di Garni, para milisi RSF melihat darah putra-putra Adam di pakaiannya dan menuduhnya sebagai seorang pejuang. Setelah berjam-jam penyelidikan, mereka melepaskannya.

Nama lengkap para penyintas dirahasiakan demi keselamatan mereka.

PBB mengatakan lebih dari 65.000 orang telah meninggalkan El-Fasher sejak Ahad, tetapi puluhan ribu lainnya masih terjebak. Sekitar 260.000 orang berada di kota itu sebelum serangan terakhir RSF.

“Sejumlah besar orang masih berada dalam bahaya besar dan dicegah oleh Pasukan Dukungan Cepat RSF dan sekutunya untuk mencapai daerah yang lebih aman,” kata Dokter Lintas Batas (MSF).

Kelompok tersebut mengatakan bahwa hanya 5.000 orang yang berhasil mencapai Tawila, sekitar 70 kilometer ke arah barat.

Jumlah orang yang tiba di Tawila “tidak sesuai, sementara laporan tentang kekejaman berskala besar terus bertambah,” kata kepala kedaruratan MSF, Michel Olivier Lacharite.

Pembunuhan massal masih terus berlanjut’

Beberapa saksi mata mengatakan kepada MSF bahwa 500 warga sipil bersama militer dan Pasukan Gabungan yang bersekutu dengan tentara, telah berusaha melarikan diri pada hari Ahad, tetapi sebagian besar terbunuh atau ditangkap oleh RSF dan sekutu mereka.

Para penyintas melaporkan bahwa orang-orang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, usia, atau etnis yang diduga dan banyak yang masih ditawan untuk tebusan.

Baca Juga

Darfur adalah rumah bagi sejumlah kelompok etnis non-Arab, yang merupakan mayoritas penduduk wilayah tersebut, berbeda dengan penduduk Arab Sudan yang dominan di negara ini.

Hayat, seorang ibu dari lima anak yang melarikan diri dari kota itu, sebelumnya mengatakan kepada AFP bahwa “para pemuda yang bepergian bersama kami dihentikan” di sepanjang jalan oleh paramiliter (RSF) dan “kami tidak tahu apa yang terjadi pada mereka.”

PBB mengatakan pada Jumat bahwa korban jiwa akibat serangan RSF di kota itu mungkin mencapai ratusan, sementara sekutu militer menuduh kelompok paramiliter tersebut membunuh lebih dari 2.000 warga sipil.

Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale pada Jumat menyatakan bahwa pembunuhan massal kemungkinan terus berlanjut di dalam dan sekitar El-Fasher.

Laboratorium tersebut, yang menggunakan citra satelit dan informasi sumber terbuka untuk mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia selama perang, mengatakan bahwa citra terbaru dari hari Jumat menunjukkan “tidak ada pergerakan skala besar” warga sipil yang melarikan diri dari kota. Ini memberi mereka alasan untuk percaya bahwa sebagian besar penduduk mungkin “terbunuh, ditangkap, atau bersembunyi”.

Laboratorium tersebut mengidentifikasi setidaknya 31 kelompok objek yang sesuai dengan tubuh manusia antara hari Ahad dan Jumat, di berbagai lingkungan, halaman universitas, dan lokasi militer.

“Indikator bahwa pembunuhan massal terus berlanjut terlihat jelas,” kata laboratorium tersebut.

Sungguh mengerikan

Dalam sebuah konferensi di Bahrain pada Sabtu, pejabat tinggi Kemenlu Jerman, Johann Wadephul mengatakan Sudan “benar-benar dalam situasi apokaliptik, krisis kemanusiaan terbesar di dunia”.

Biang kerok, RSF, yang didukung “Israel” dan UEA mengatakan padai Kamis bahwa mereka telah menangkap beberapa pejuang yang dituduh melakukan pelanggaran selama penangkapan di El-Fasher, tetapi kepala kemanusiaan PBB Tom Fletcher mempertanyakan komitmen kelompok ini untuk menyelidiki kekejaman yang mereka lakukan.

Baik RSF — keturunan milisi Janjaweed yang disebut melakukan genosida di Darfur dua dekade lalu — maupun militer telah menghadapi tuduhan kejahatan perang selama konflik tersebut.

AS sebelumnya mengakui bahwa RSF telah melakukan genosida di Darfur.

Selain dapat dukungan “Israel”, menurut PBB, RSF juga menerima bantuan senjata dan drone dari UEA (Uni Emirat Arab).

UEA pun meradang. Seorang pejabat UEA dalam sebuah pernyataan pada Sabtu mengatakan, “Kami dengan tegas menolak klaim pemberian dukungan dalam bentuk apa pun kepada pihak yang bertikai… dan mengutuk kekejaman tersebut.”

Sementara itu, militer telah mendapatkan dukungan dari Mesir, Arab Saudi, Iran dan Turki.

Perebutan El-Fasher memberi RSF kendali penuh atas kelima ibu kota negara bagian di Darfur, yang secara efektif membagi Sudan di sepanjang poros timur-barat. Sementara tentara menguasai wilayah utara, timur, dan tengah.

Para pejabat PBB telah memperingatkan bahwa kekerasan kini menyebar ke wilayah tetangga, Kordofan, dengan munculnya laporan tentang “kekejaman skala besar yang dilakukan” oleh RSF.

Konflik yang lebih luas ini telah menewaskan puluhan ribu orang, membuat hampir 12 juta orang mengungsi, dan menciptakan krisis pengungsian dan kelaparan terbesar di dunia. (ib)

Baca Juga