“Jika Jadi Presiden, Prabowo Tak Akan Paksa Franz Magnis Dikhitan”

Franz Magnis-Suseso-1-jpeg.imageJAKARTA (SALAM-ONLINE): Surat terbuka dari rohaniawan Katolik Franz Magnis Suseno tentang ketakutannya terhadap kemunculan apa yang disebut Islam “garis keras” masih mendapat sorotan.

Kali ini, cendekiawan Muslim Dr Adian Husaini membalas surat tersebut dengan nasihat lewat tulisan bertajuk “Kritik dan Nasihat untuk Franz Magnis Suseno atas Suratnya untuk Prabowo”. Pengajar Universitas Ibnu Khaldun ini menulis tanggapan tersebut lewat blog pribadinya.

Pendiri Institut for the Study of Islamic Thought and Civilizations (Insist) itu meminta agar Sang Romo tidak bersikap paranoid terhadap Islam. Menurutnya,  Franz harus bisa menenangkan diri dan pikiran menjelang Pilpres 2014. Adian pun meminta Franz tidak cinta dan benci dengan berlebihan kepada para calon presiden.

Dia pun mendoakan semoga Franz mendapat kesehatan sehingga bersedia menerima hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adian juga meminta Franz tidak perlu khawatir jika pasangan Prabowo-Hatta memenangkan Pilpres 2014. “Yakinlah, jika Prabowo Subianto jadi Presiden RI, tidak mungkin Prabowo, PKS, PPP, atau FPI akan memaksa Pak Magnis untuk dikhitan! Jadi, tidak perlu khawatir, Romo!” (RoL)

salam-online

Franz sebelumnya menulis surat tentang alasannya tidak memilih Prabowo pada Pilpres 2014 ini. Dia menyebutkan, Prabowo telah menjadi tumpuan kelompok Islam “garis keras”. Franz pun menyebut beberapa nama partai seperti PPP dan PKS.  Tidak hanya itu, dia mengritik pernyataan Amien Rais yang disebut menganalogikan Pilpres 2014 dengan perang badar.

Baca Juga

Adian menjelaskan, Pastor Magnis adalah seorang guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sebagai akademisi, sepatutnya, Franz membuat kriteria ilmiah dalam memberi cap negatif sebagai “Islam garis keras”  dan “kelompok ekstremis” kepada PKS dan PPP atau FPI.

Menurutnya, stigmatisasi negatif akademisi Katolik seperti Franz Magnis terhadap beberapa organisasi Islam tersebut—tanpa didasari kriteria ilmiah—bisa mencederai kapasitas akademisnya dan bisa dipahami sebagai gejala kebencian, kedengkian, dan sikap “Islamofobia”  yang berlebihan.

Padahal, ujar Adian, Franz pernah mengklaim sebagai tokoh yang radikal dalam bertoleransi beragama. Dia pun mengutip Strategi politik Gereja Katolik di Indonesia yang pernah ditulis oleh Franz Magnis-Suseno.

“Di permulaan Orde Baru banyak orang kita merasa bahwa berhadapan dengan golongan Islam, kita tidak mempunyai pilihan selain mencari perlindungan pada ABRI dan karena itu jangan secara terbuka menjadi oposisi terhadap Pak Harto. Kita menjadi tidak kritis. Tentu sebuah minoritas kecil tidak boleh berlagak oposisi bangsa. Namun, karena itu, kita kian tergantung dari kebaikan militer yang semakin dapat memanfaatkan kita demi kepentingan politik mereka sendiri, misalnya di Irian dan dalam Operasi Komodo di Timor Timur sebelum invasi Indonesia. Namun, pada waktu gereja-gereja dibakar, dimana militer? Kalau kita mau mantap di Indonesia, maka bukan karena dilindungi oleh militer, melainkan karena berhubungan baik dengan saudara-saudara Muslim sendiri.” (RoL)

salam-online

Baca Juga