KTT Gedung Putih tentang Gaza Bertujuan ‘Mengakhiri Perjuangan Palestina’

AS ingin menunjukkan beberapa proposal masalah kemanusiaan yang dihadapi warga Gaza. (Foto: Reuters)

SALAM-ONLINE: Ketika Gedung Putih bersiap untuk mengadakan sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang bertujuan menyelesaikan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza, orang-orang Palestina di daerah kantong yang terkepung itu mengatakan bahwa KTT tersebut adalah sebagai upaya untuk ‘mengakhiri perjuangan Palestina’ dan mengubahnya menjadi “proyek bantuan”.

Perwakilan Palestina menolak undangan Gedung Putih itu. Mereka tidak hadir dalam konferensi yang berlangsung pada Selasa (13/3/2018) di Washington tersebut.

Namun, perwakilan dari sekitar 20 negara, termasuk di antara peserta yang akan membahas tantangan kesehatan di Gaza seperti masalah air dan listrik yang terkontaminasi kronis, serta kemiskinan dan ketahanan pangan.

Negara dan badan internasional yang menghadiri konferensi tersebut meliputi Bahrain, Mesir, Uni Eropa, Yordania, Arab Saudi, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jepang, Siprus, Kanada dan “Israel”.

Amerika Serikat diharapkan memperlihatkan beberapa proposal yang menangani masalah ini.

Menantu Presiden Donald Trump Jared Kushner dan utusan untuk Timur Tengah Jason Greenblatt –yang merupakan pendukung utama kebijakan sayap kanan “Israel” melawan orang-orang Palestina—berbicara di KTT tersebut.

Dalam sambutan pembukaannya, Greenblatt menyalahkan Hamas, kelompok Palestina yang memerintah di Gaza. Ia mengatakan bahwa Hamas “sangat tidak layak” untuk memerintah wilayah tersebut.

“Ini tentang kesehatan, keselamatan dan kebahagiaan rakyat Gaza, dan semua orang Palestina, ‘Israel’ dan Mesir,” ujarnya.

Penduduk Gaza terus menghadapi situasi seperti putus asa karena blokade yang diikuti kekurangan air dan pasokan listrik serta obat-obatan. Akibatnya dokter tidak dapat melakukan operasi.

Blokade penjajah Zionis di Gaza, dalam bentuknya sekarang, telah berlangsung sejak Juni 2007. Zionis “Israel” memberlakukan blokade darat, laut dan udara di wilayah tersebut setelah Hamas memenangkan pemilihan umum di daerah kantong Palestina itu setahun sebelumnya.

Penjajah Zionis menguasai wilayah udara dan perairan teritorial Gaza, serta dua dari tiga titik persimpangan; yang ketiga dikendalikan oleh Mesir. Baik “Israel” maupun Mesir telah membuat perbatasan Gaza ditutup. Mereka bertanggungjawab atas memburuknya situasi ekonomi dan kemanusiaan di Gaza.

Gaza, yang telah mengalami tiga serangan “Israel” dalam satu dekade terakhir, merupakan rumah bagi sekitar dua juta orang. Banyak di antara warganya terlibat dalam demonstrasi menentang keputusan sepihak Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota wilayah jajahan Zionis “Israel” pada Desember 2017 lalu.

Sejak Trump mengambil keputusan sepihak itu, Otoritas Palestina (PA) telah mempertanyakan posisi AS sebagai broker yang jujur dalam menengahi upaya perdamaian antara Palestina dengan “Israel”.

Broker tidak jujur

Dengan AS sekarang dianggap sebagai broker tidak jujur oleh banyak warga Palestina, penduduk Jalur Gaza percaya bahwa konferensi tersebut diadakan untuk “melindungi Israel” dari perang lain dengan Gaza.

“Ini akan menghalangi rencana Trump,” kata Abdulkareem Abden Enein (29) kepada Aljazeera.

“Saya mengharapkan hasil konferensi tersebut menjadi positif bagi rakyat Gaza, terutama karena ‘Israel’ terlibat.”

“Meskipun ini mungkin merupakan hal yang positif bagi warga Gaza, namun saya pikir ini mungkin akan menyakitkan bagi pemerintahan persatuan dan kesepakatan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas,” perkiraan Enein.

Hamas dan Fatah, dua partai politik utama Palestina, menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi pada Oktober 2017, mengakhiri satu dekade pembagian wilayah dengan dua pemerintah paralel yang beroperasi di Gaza dan Tepi Barat.

Kesepakatan untuk membentuk pemerintah persatuan ditandatangani di ibukota Mesir, Kairo, pada 13 Oktober 2017. Namun upaya untuk mengimplementasikan kesepakatan tersebut telah menghadapi hambatan.

Abden Enein yakin itu keputusan yang tepat bagi Otoritas Palestina untuk menolak undangan Gedung Putih dalam KTT tersebut.

“Saya tidak berpikir seharusnya Otoritas Palestina hadir—saya pikir tidak satu pun pejabat Palestina menghadiri acara yang diprakarsai oleh AS sampai pemerintah Trump keputusannya terhadap orang-orang Palestina,” ujarnya.

Baca Juga

Demikian pula, Ibtihal Mohammed yang berusia 23 tahun mengatakan AS hanya berusaha memastikan hal itu, di mata masyarakat internasional, “mempertahankan seruannya untuk perdamaian dan stabilitas di wilayah ini”.

“Tapi sayangnya, dan seperti biasa, ini hanya tindakan yang dihadapinya dari tahun ke tahun,” terang Ibtihal.

“Saya pikir hasil konferensi akan sedikit—mungkin beberapa bantuan akan disampaikan, tapi itu tidak akan bertahan, terutama jika kondisi tertentu tidak terpenuhi,” imbuhnya.

‘Mengampuni Israel”

Pada Januari lalu, Trump mengumumkan bahwa pemerintah AS akan memotong lebih dari setengah dana yang direncanakannya terhadap badan PBB untuk pengungsi Palestina, sebuah langkah yang bisa menjadi bencana bagi jutaan orang yang membutuhkan.

Dengan menahan US$65 juta paket bantuan senilai US$125 juta yang diperuntukkan bagi Badan Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), AS dapat menghambat sebagian besar operasi lembaga tersebut.

Selama hampir 70 tahun, UNRWA telah menjadi jalur kehidupan bagi lebih dari lima juta pengungsi Palestina yang terdaftar di wilayah-wilayah pendudukan serta Lebanon, Yordania dan Suriah.

Dan bagi penduduk Gaza, dukungan UNRWA adalah satu-satunya konstanta.

Dengan demikian, beberapa warga Gaza melihat lapisan perak dalam upaya terakhir yang diajukan oleh AS untuk mengakhiri krisis kemanusiaan di Gaza.

Penulis yang berbasis di Gaza, Asmaa al-Ghoul, mengatakan kepada Aljazeera sebuah konferensi yang membahas “kondisi kehidupan yang tak tertahankan dari Jalur Gaza diterima”.

“AS tidak melakukan apapun di masa lalu selain menempatkan Hamas pada daftar kelompok teror global, yang hanya mempersulit Jalur Gaza lagi,” terangnya.

Al-Ghoul juga menyalahkan Fatah dan Hamas atas kondisi yang memburuk di Gaza.

“Fatah tidak melakukan apapun untuk menghentikan blockade, dan sebaliknya, kepatuhannya memperpanjang pengepungan—dan Hamas gagal dalam beberapa upaya mendamaikan dan menemukan solusi politik untuk mengakhiri pengepungan di Gaza,” ungkap Al-Ghoul.

“Kami tidak punya harapan.”

Yang lain bersikeras bahwa konferensi itu hanya sebuah front. Mereka berpendapat bahwa konferensi tersebut tidak memiliki kepentingan terbaik bagi warga Gaza.

“Tanpa diragukan lagi, saya pikir konferensi itu adalah sebuah front yang bertujuan untuk melayani kepentingan ‘Israel’,” kata Sami Akeeleh, seorang peneliti kepada Aljazeera.

“Mereka (AS) ingin menghapus kesalahan ‘Israel’ terkait kondisi yang memburuk di Gaza.”

Akeeleh mengatakan bahwa upaya terus-menerus dalam mengampuni “Israel” karena harus berkompromi untuk meredakan krisis kemanusiaan di Gaza.

“Mengingat pengumuman sepihak Trump terkait Yerusalem, ini seperti masalah Palestina telah beralih ke dalam krisis kemanusiaan—dan konferensi ini mungkin merupakan usaha untuk memperkuat wacana khusus tersebut,” duga Akeeleh.

“AS mengubah kepentingan Palestina menjadi kantong bantuan.” (S)

Sumber: Aljazeera

Baca Juga