PP Muhammadiyah: ‘Terorisme’, Ekspresi Perlawanan Pihak yang Merasa Diperlakukan tak Adil.

Dr Abdul Mu’ti, M.Ed

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan duka cita kepada keluarga mereka yang wafat dalam kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/5/2018) dini hari.

“PP Muhammadiyah sangat prihatin atas kekerasan yang terjadi di Mako Brimob. Kejadian itu merupakan tamparan keras bagi aparatur keamanan, khususnya Brimob, yang selama ini dianggap sebagai pasukan elite di jajaran kepolisian,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti, M.Ed dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (10/5) malam.

Mu’ti menyatakan, Kapolri harus segera melakukan evaluasi atas kinerja jajarannya, termasuk penggunaan Mako Brimob sebagai tempat penahanan para tersangka tindak pidana.

Dia mengingatkan, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang terbebas dari ancaman “terorisme”. Peristiwa di Mako Brimob, ujarnya, hendaknya menjadi peringatan dan pelajaran bahwa “terorisme” masih merupakan ancaman bagi bangsa dan negara Indonesia.

Namun, Mu’ti juga menekankan bahwa “terorisme” tidak ada kaitan dengan ajaran agama tertentu.

“Terorisme adalah ekspresi perlawanan dari mereka yang merasa diperlakukan tidak adil. Motifnya bisa karena ekonomi, politik, kebudayaan, identitas dan ideologi, baik agama maupun politik,” katanya.

Terkait penanganan kerusuhan di Mako Brimob, menurut Mu’ti, polisi seharusnya mengedepankan proses investigasi terhadap penyebab kejadian secara seksama dan bijaksana. “Keterangan polisi yang simpang siur terkait penyebab kejadian bisa menurunkan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat atas profesionalitas Polri sebagai aparatur keamanan,” ujarnya.

Baca Juga

Jika ternyata ditemukan kesalahan dan keteledoran, kata dia, sudah seharusnya Kapolri memberikan sanksi yang tegas kepada jajarannya.

“Karena itu, tidak seharusnya Polisi langsung menumpahkan tuduhan kepada para tahanan,” kata Mu’ti.

Abdul Mu’ti juga mengingatkan agar usaha pencegahan dan pemberantasan “terorisme” dilaksanakan secara komprehensif, melibatkan berbagai pihak. Polisi sebagai aparatur keamanan bertanggung jawab terhadap penindakan.

“Sedangkan untuk pencegahan dapat dilakukan oleh elemen masyarakat, termasuk organisasi agama, kepemudaan, media massa, dan sebagainya. Pendekatannya juga harus menyeluruh, baik ekonomi, politik, pendidikan, olah raga, seni budaya, agama dan sebagainya,” terangnya.

Terkait kasus-kasus “terorisme”, termasuk yang baru saja terjadi di Mako Brimob, Abdul Mu’ti meminta untuk tidak perlu saling menyalahkan dan mengutuk. Sekarang saatnya, kata dia, semua pihak saling bekerja sama.

Namun, meskipun demikian, Presiden bisa memanggil Kapolri untuk memberikan laporan dan bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

“Siapa pun yang bersalah harus diberikan sanksi sesuai hukum dan ketentuan yang berlaku. Hal demikian agar menjadi pembelajaran untuk mencegah terjadinya kejadian serupa di masa yang akan datang,” pungkasnya. (S)

Baca Juga