Organisasi-organisasi Rohingya di Seluruh Dunia Mengkritik Perjanjian Myanmar-PBB

Pengungsi Rohingya

SALAM-ONLINE: Organisasi-organisasi Rohingya di seluruh dunia pada Ahad (10/6/2018) lalu mengkritik perjanjian baru yang ditandatangani antara Myanmar dengan PBB terkait pemulangan pengungsi Rohingya dengan mengatakan bahwa perjanjian tersebut tidak menyentuh akar penyebab krisis.

“Kami sangat prihatin bahwa Memorandum of Understanding (MoU) tidak mengatasi akar penyebab krisis Rohingya, khususnya masalah kewarganegaraan dan identitas etnis Rohingya,” ungkap pernyataan bersama yang ditandatangani oleh 23 organisasi Rohingya, termasuk Dewan Rohingya Eropa (ERC) dan Arakan Rohingya National Organization (ARNO).

Pada 6 Juni lalu, penguasa Myanmar menandatangani perjanjian Program Pembangunan PBB (UNDP) dengan Badan Pengungsi PBB (UNHCR) yang memungkinkan mereka untuk terlibat dalam proses repatriasi yang telah tertunda lama.

Pernyataan itu juga menyuarakan keprihatinan atas tidak dilibatkannya perwakilan pengungsi dalam penandatanganan perjanjian, padahal Rohingyamemiliki hak untuk mengetahui tentang kesepakatan mengenai pemulangan mereka.

“Teks-teks MoU belum dibuat, publik meninggalkan komunitas internasional dalam gelap yang menimbulkan pertanyaan,” tambah pernyataan tersebut.

“Semua catatan sebelumnya menunjukkan badan-badan PBB, termasuk UNHCR sebagai agen dari kepentingan masyarakat internasional, tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai kepada para pengungsi Rohingya karena kekeras-kepalaan penguasa Myanmar,” katanya.

Pertanyaan hidup dan mati

“Pemulangan adalah pertanyaan hidup dan mati untuk seluruh orang Rohingya,” ungkap pernyataan tersebut.

Pernyataan itu juga menegaskankan bahwa orang-orang Rohingya tidak mau kembali ke Myanmar karena pihak berwenang yang “terlibat dalam genosida perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan”, tidak mengubah sikap mereka.

“Mereka tidak bisa memercayai penguasa Myanmar dan militer yang telah membunuh, memperkosa dan membuat mereka kelaparan dengan ratusan desa mereka diratakan, tanah mereka dirampas dan rumah-rumah tinggal mereka dilibas,” demikian pernyataan bersama itu menambahkan.

Baca Juga

Organisasi-organisasi peduli Rohingya itu juga menyerukan kepada masyarakat internasional masyarakat Internasional, khususnya pasukan penjaga perdamaian PBB untuk memberikan perlindungan terhadap pengungsi tersebut.

“Yang tak kalah penting, harus ada akuntabilitas, dan pelaku kejahatan harus dibawa ke pengadilan dan diserahkan ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC),” tutup mereka dalam pernyataan tersebut.

Krisis Rohingya

Menurut Amnesty International, sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh, setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas tersebut.

Sementara menurut Doctors Without Borders (Dokter tanpa Batas), setidaknya 9.400 orang Rohingya terbunuh di Rakhine dalam tenggang waktu 25 Agustus hingga 24 September tahun 2017 lalu.

Dalam laporan yang diterbitkan baru-baru ini, kelompok kemanusiaan mengatakan bahwa kematian sebanyak 71,7 persen atau 6.700 orang Rohingya disebabkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar. Mereka, termasuk 730 anak-anak di bawah usia 5 tahun.

PBB juga mendokumentasikan beberapa kejadian yang dialami Muslim Rohingya seperti perkosaan massal, pembunuhan—termasuk bayi dan anak kecil—pemukulan brutal dan penghilangan nyawa secara paksa yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar.

Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. (MNM/Salam-Online)

Sumber: Anadolu Agency

Baca Juga