Debat ‘Cerdas Cermat’

-CATATAN M RIZAL FADILLAH, SH-

Jika ini yang terjadi maka program debat tidak memiliki arti penting. Pemilih nyatanya memilih pemimpin yang paling tidak cerdas dan paling tidak cermat. Ironis dan memalukan.SALAM-ONLINE: Masih belum habis rasa kecewa pada program Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini. Dunia menonton kompetisi calon Presiden Indonesia. Agenda debat tidak bernuansa debat. Ada yang mengatakan debat berasa cerdas cermat. Beberapa media dunia menertawakan acara ini.

Ini semua gara gara KPU. KPU yang menghilangkan tahap penyampaian visi-misi dan membocorkan pertanyaan. Settingan pun menjadi tidak bagus. Efek dari rekayasa dan sarat kepentingan.

Ramai di medsos tanggapan. Dan nampaknya yang paling banyak berita adalah soal “contek-menyontek”. Komentarnya lucu-lucu dan bervariasi. Sampai-sampai anak sekolah gembira, katanya ulangan boleh nyontek karena calon Presiden saja mencontohkan begitu. Luar biasa KPU memfasilitasi pembodohan masyarakat demi “menolong” kandidat.

Di samping settingan KPU yang blepotan, juga kandidat dinilai datar-datar saja dalam menjawab. Pasangan Prabowo-Sandi relatif lebih kompak dan hidup ketimbang pasangan Jokowi-Ma’ruf. Kiai Ma’ruf pasif dan tak mampu masuk ke ruang debat. Malah soal “terorisme” justru memojokkan umat Islam.

Kiai yang juga Ketum MUI (non-aktif) ini mestinya berada di pihak umat Islam. Tapi begitulah kalau posisinya berada di “seberang”, mau tidak mau harus bergaya bahasa petahana. Umat Islam (politik) diposisikan sebagai “oposisi” yang mesti dilemahkan.

Hal yang memalukan adalah “stres”nya Kiai Ma’ruf menghadapi debat. Sampai-sampai di medsos diberitakan viral “ngompol” nya Kiai. Sarung basah disorot kamera. Memang pasangan Jokowi ini rontok marwah dan kecerdasannya. Rasanya ia kini berada di bidang yang tidak dikuasainya.

Sebenarnya Pak Kiai sangat mengetahui dan menyadari ucapan Nabi yang menyatakan bahwa mengemban amanah yang bukan bidangnya adalah saat-saat menunggu kehancuran saja.

Baca Juga

Empat tahun Jokowi memerintah telah membuat negara gaduh terus menerus. Kegaduhan yang disebabkan “mismanajemen” dalam pengelolaan negara. Jokowi tak memiliki keahlian kenegaraan. Untuk meraih Jabatannya pun dinilai “karbitan”. Selalu tak tuntas, baik di Solo maupun di Jakarta. Melompat-lompat. Seperti “frog” yang memang menjadi hewan peliharaan yang disukainya.

Kembali pada program debat KPU yang dinilai kurang bermutu dan tidak efektif untuk pendidikan politik. Sudah selayaknya KPU mengubah format debat. Intinya jangan terlalu banyak “rekayasa” seperti bocoran pertanyaan yang lalu. Biarlah rakyat menilai bebas ekspresi dan kemampuan kandidat Presiden dan Wakil Presiden apa adanya. Terlalu banyak “bekal” membuat stres pada kandidatnya.

Moga format debat esok tidak menjadi acara “cerdas cermat” lagi yang menampilkan calon pemimpin bangsa justru tidak cerdas dan tidak cermat.

Sebenarnya yang lebih mengkhawatirkan adalah kesadaran politik rakyat Indonesia yang tidak terlampau tinggi. Belum terbina dengan baik. Memilih pemimpin bangsa tidak berdasarkan kualifikasi dan kepatutan, melainkan semata pada fanatisme atau pragmatisme.

Jika ini yang terjadi maka program debat tidak memiliki arti penting. Pemilih nyatanya memilih pemimpin yang paling tidak cerdas dan paling tidak cermat. Ironis dan memalukan.
Moga tidak terjadi.

Bandung, 20 Januari 2019

-Penulis Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Bandung Institute

Baca Juga