Catatan M. Reza Prima Matondang*
SALAM-ONLINE.COM: Dalam membaca ulang “perdebatan” antara Darul Ifta’ Mesir dan Persatuan Ulama Muslimin Sedunia terkait hukum “Jihad Membela Paletina”, menurut penulis respons Darul Ifta’ Mesir terhadap seruan jihad yang dikeluarkan oleh Persatuan Ulama Muslimin Sedunia menjadi salah satu momen penting yang menunjukkan bagaimana dinamika otoritas fatwa dan keberpihakan pada Umat berlangsung di era modern.
Melalui telaah terhadap poin-poin yang disampaikan oleh Darul Ifta’, terlihat bahwa lembaga fatwa dari Mesir ini menempatkan jihad dalam kerangka yang sangat hati-hati dan prosedural—sesuatu yang sebenarnya “wajar” mengingat tanggung jawab mereka dalam menjaga stabilitas dan mencegah potensi chaos tak terkendali yang bisa timbul dari fatwa-fatwa yang bersifat reaktif terkait masalah Palestina.
Berikut -salah satu- pernyataan Darul Ifta’ Mesir yang hendak penulis diskusikan lebih lanjut:
الجهاد مفهومٌ شرعيٌّ دقيق، له شروط وأركان ومقاصد واضحة ومحددة شرعًا، وليس من حق جهة أو جماعة بعينها أن تتصدر للإفتاء في هذه الأمور الدقيقة والحساسة بما يخالف قواعد الشريعة ومقاصدها العليا، ويعرِّض أمن المجتمعات واستقرار الدول الإسلامية للخطر.
Jihad adalah konsep syariat yang sangat kompleks. Jihad memiliki syarat-syarat, rukun-rukun, dan tujuan-tujuan yang jelas dan terperinci secara syariat, sehingga bukan hak sembarangan kelompok atau individu mengeluarkan fatwa jihad pada kasus-kasus yang memerlukan pendalaman, karena hal itu bisa saja berseberangan dengan kaidah-kaidah syariat dan tujuan-tujuannya yang paling tinggi serta bisa saja membahayakan keamanan masyarakat umum dan stabilitas negara-negara Islam.
Jika ditelaah lebih lanjut, fatwa yang dinyatakan Persatuan Ulama Muslimin Sedunia sebenarnya menyatakan posisi mereka yang kapabel dalam fatwa, bahwa mereka adalah sekumpulan para ulama berilmu dan bukan individu tanpa kapasitas dan otoritas. Mereka sejatinya adalah figur-figur berilmu dan berpengalaman dari berbagai penjuru dunia Islam. Mereka menyuarakan seruan atas dasar tanggung jawab akidah dan kewajiban syariah untuk menyampaikan Al-Haq, bukan berdasarkan kepentingan politik semata atau tujuan sektarian.
Perlu ditekankan sebagai pengingat dalam kasus ini, bahwa fatwa—terutama dalam isu strategis seperti jihad—tidak bisa dimonopoli oleh lembaga-lembaga formal semata. Penulis -sebenarnya- ingin mengajak pembaca untuk tidak sekadar melihat debat ini dalam kerangka “pro” dan “kontra”. Tetapi memahami dinamika intelektual dan spiritual yang sedang berlangsung: antara suara nurani ulama independen dengan kehati-hatian lembaga resmi. Karena pada akhirnya, yang paling dibutuhkan umat dari para ulama umat adalah panduan yang jujur, adil, dan mampu menjawab realitas dengan keberanian serta kebijaksanaan.
Untuk itu, menurut hemat penulis -setelah memperhatikan pendapat Dr. Daghi- ada beberapa fakta yang harus didudukkan untuk bisa memahami tanggapan dari Darul Ifta Mesir terhadap fatwa Jihad Persatuan Ulama Muslimin Sedunia tersebut:
Fakta Pertama: Tugas para ulama adalah menyampaikan kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini Persatuan Ulama Muslimin Sedunia sedang melaksanakan hal tersebut. Sedangkan tugas pemimpin umat, termasuk dalam hal ini pemimpin negara negara muslim, adalah menjalankan hal tesebut.
Fakta Kedua: Setiap ulama yang memenuhi syarat untuk berfatwa tidak boleh diam ketika melihat kebenaran, karena Allah telah mewajibkan mereka untuk menyampaikan ilmu, bukan menyembunyikannya. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya,” (QS Ali Imran/3: 187).
Fakta Ketiga: Para ulama yang berbicara ini bukan dari satu negara saja, atau bahkan dari satu kelompok saja. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia, berpendidikan tinggi, punya pengalaman, bahkan pernah menjabat sebagai pejabat penting. Mereka paham realitas dan bukan orang sembarangan.
Fakta Keempat: Soal tudingan bahwa mereka membahayakan stabilitas—itu justru pertanyaan balik yang ditujukan kepada Darul Ifta’ dalam kasus ini setelah melihat tragedi genosida di Palestina. Apakah Persatuan Ulama Muslimin Sedunia tidak memikirkan dampaknya?
Fakta Kelima: Seruan ini sebanarnya ditujukan kepada para pemimpin negara-negara muslim agar mereka bertanggung jawab, karena mereka yang punya wewenang untuk bertindak dan menilai risiko dan manfaat dari setiap tindakan.
Penutup
Akhir Kalam, menurut penulis dinamika antara Darul Ifta’ Mesir dan Persatuan Ulama Muslimin Sedunia dalam merespons tragedi kemanusiaan di Gaza bukanlah sekadar silang pendapat antar lembaga fatwa, melainkan cerminan dari benturan dua pendekatan dalam melihat peran ulama di tengah krisis: antara kehati-hatian institusional dan keberanian Ulama Umat.
Dalam konteks ini, umat Islam perlu jernih menyikapi perbedaan. Menegaskan posisi jihad sebagai konsep syariat yang menuntut integritas, ilmu, dan kepekaan terhadap realitas. Namun, sikap diam terhadap kezaliman dengan dalih prosedural adalah apologi yang bisa menjauhkan syariat jihad dari fungsinya sebagai perisai pelindung umat.
Maka, sebagaimana telah diuraikan, keberanian ulama dalam menyuarakan kebenaran dan menyeru kepada tanggung jawab para pemimpin negara-negara muslim tidak boleh dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai peringatan cinta untuk menyelamatkan umat dari tragedi kemanusiaan Gaza. Di sisi lain, sikap Darul Ifta Mesir yang mengedepankan kehati-hatian harus dipandang sebagai bagian dari kehendak menjaga keselamatan, bukan mematikan gerak.
Akhirnya, yang dibutuhkan umat hari ini bukan hanya seruan atau kehati-hatian, tetapi para pemimpin umat yang mampu menjembatani keberanian yang terukur dan kebijaksanaan yang berpihak. Di tengah penderitaan Gaza dan berbagai penjuru dunia Islam, suara ulama semestinya menjadi pelita penunjuk jalan, bukan sekadar gema yang mematikan gerak. [ ]
*) Penulis adalah Dosen FAI UM Jakarta & Pembina Barisan Muda Islam