Mengapa ‘Israel’ Melanggar Gencatan Senjata?

SALAM-ONLINE.COM: Gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari 2025 adalah hasil kesepakatan antara Perdana Menteri penjajah Benjamin Netanyahu dengan Hamas. Kesepakatan itu berakhir dengan serangan baru penjajah terhadap Gaza.

Rezim penjajah zionis yang tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan gencatan senjata tidak mengambil langkah apa pun untuk menormalisasi kehidupan di Gaza.

Netanyahu yang tidak ingin proses tersebut dilakukan secara adil dan transparan, mengerahkan pasukan pendudukan/penjajah untuk melanjutkan genosida pada 18 Maret setelah sepenuhnya melarang masuknya bantuan kemanusiaan.

Puluhan ribu warga Palestina dibantai di depan mata dunia. Terlepas dari apakah mereka laki-laki, perempuan, bayi, anak-anak, muda, tua, sakit atau cacat. Semuanya dibantai.

Kegagalan masyarakat internasional untuk mengambil tindakan mencegah penjajah melanjutkan genosida itu dan tak pula menjatuhkan sanksi konkret yang diperlukan, menyebabkan “Israel” makin brutal mempercepat ekspansionisnya yang agresif.

Dengan genosida terburuk yang terjadi di Gaza itu, rezim zionis menunjukkan kepada dunia bahwa mereka merupakan ancaman nyata bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut. Netanyahu menunjukkannya melalui serangan di Tepi Barat, Lebanon dan Suriah.

Konteks teo-politik merupakan motivasi utama yang mendasari retorika otoritas rezim pendudukan untuk mengubah status quo politik dan geografis di wilayah tersebut. Netanyahu dan timnya melegitimasi genosida dan kebijakan ekspansi “negara” dari perspektif mereka melalui rujukan pada teks-teks suci Yahudi.

Klaim kepemimpinan zionis atas kedaulatan terhadap wilayah-wilayah baru melalui agresi yang belum pernah terjadi sebelumnya merupakan cerminan dari strategi yang berakar pada konsepsi Yahudi tentang tatanan politik.

Dukungan dunia Barat terhadap kebijakan genosida dan pendudukan berdarah “Israel’ yang berpusat pada agama meningkatkan ketidakpastian tentang masa depan Gaza.

Mengapa rezim penjajah membatalkan gencatan senjata?

Pada 19 Januari 2025 pengumuman perjanjian gencatan senjata antara kedua belah pihak disambut dengan persetujuan global yang luas. Perjanjian tersebut akan memberikan ruang bernafas bagi warga Palestina, yang telah menjadi sasaran segala macam perlakuan tidak manusiawi dan pelanggaran hukum selama lebih dari 17 bulan. Perjanjian itu juga juga membuka negosiasi untuk gencatan senjata yang berkelanjutan.

Perkembangan antara gencatan senjata dan 18 Maret memainkan peran yang menggembirakan dalam kembalinya Netanyahu ke jalur ofensif. Pertama-tama, meningkatnya ketegangan dan krisis struktural yang semakin dalam pada politik dalam negeri “Israel” merupakan ancaman serius bagi karier politik Netanyahu.

Kasus korupsi, campur tangan dalam peradilan, dan peristiwa setelah 7 Oktober 2023, menyebabkan terbentuknya blok anti-Netanyahu yang kuat. Khususnya, pernyataan keras anti-Netanyahu dari mantan politisi “Israel”. Kritik keras mereka terhadap rezim penjajah itu membuat Netanyahu harus mengambil langkah untuk mengalihkan perhatian publik.

Melihat suara-suara yang menentangnya semakin keras dalam konteks gencatan senjata, Netanyahu menemukan jalan keluar dengan melanjutkan genosida di Gaza agar tidak kehilangan kekuasaan.

Setelah gencatan senjata disetujui, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menarik dukungannya terhadap Netanyahu dan mengkritik keras rezim penjajah itu.

Bezalel Smotrich, anggota kabinet ekstremis lainnya, mengumumkan bahwa ia akan mengundurkan diri jika fase kedua gencatan senjata tercapai.

Menyadari bahwa kehilangan dua pendukung kuat kebijakan genosida itu akan berakibat buruk, Netanyahu kembali secara drastis ke pembantaian di Gaza untuk mengonsolidasikan elemen-elemen radikal dalam masyarakat dan membawa Ben-Gvir kembali ke kabinet.

Baca Juga

Netanyahu juga meningkatkan serangannya di Tepi Barat, Lebanon dan Suriah untuk menyenangkan tokoh-tokoh yang menginginkan tatanan regional yang berpusat pada narasi politik Yahudi.

Faktor motivasi lain yang mendorong para pemimpin zionis melanggar gencatan senjata dan melancarkan serangan tidak manusiawi terhadap Gaza adalah dukungan dari Presiden AS Donald Trump dan kabinetnya.

Rencana Presiden Trump yang tidak masuk akal dan melanggar hukum untuk Gaza merupakan lampu hijau bagi Netanyahu, karena ia sering menyuarakan janjinya untuk membawa perdamaian ke wilayah tersebut selama kampanye pilpres.

Trump, yang menyerukan relokasi warga Gaza, tidak hanya mengizinkan “Israel” melancarkan serangan ke wilayah kantong terkepung itu, tetapi juga memberi Netanyahu dan timnya dorongan kepercayaan diri.

Motif utama keempat untuk dimulainya kembali ke pembantaian di Gaza adalah situasi yang muncul selama pembebasan tahanan “Israel”. Strategi komunikasi politik Brigade Al-Qassam Hamas dan pesan-pesan selama pertukaran tahanan merupakan tantangan kuat bagi tatanan “negara” pendudukan yang mapan.

Demikian pula, pernyataan yang dibuat oleh para tahanan (sandera) saat mereka meninggalkan Gaza atau foto-foto keakraban mereka dengan mujahidin Al-Qassam bergema di seluruh dunia. Sementara perlakuan terhadap tahanan (sandera) oleh orang-orang yang menjadi sasaran genosida itu dikagumi oleh publik dunia. Ini berarti Netanyahu dan timnya akan menghadapi krisis baru.

Oleh karena itu, untuk menghancurkan suasana yang tercipta selama gencatan senjata dan untuk mengalihkan fokus, rezim Netanyahu kembali secara radikal ke kebijakan pembantaian di Gaza.

Apa solusinya?

Melihat kabinet Netanyahu, akan tepat jika dikatakan bahwa kabinet tersebut mencakup nama-nama paling ekstremis dalam sejarah pendudukan/penjajahan tersebut. Meskipun filosofi umum “negara” pendudukan tersebut didasarkan pada perspektif politik Yahudi sejak didirikan, mungkin ini adalah pertama kalinya “Israel” menerapkan strategi yang berpusat pada agama dengan cara yang konkret.

Para pejabat rezim zionis telah menyatakan kesediaan untuk mencaplok tidak hanya wilayah Palestina tetapi juga beberapa wilayah negara tetangga. Dalam kondisi seperti itu, pertanyaan paling mendasar adalah apakah ada kemungkinan solusi untuk Gaza.

Para penguasa “negara” pendudukan tersebut nampaknya siap untuk melakukan tindakan apa pun demi memperluas perang dan memperpanjang pendudukan/penjajahan. Pada titik ini, langkah-langkah konkret sangat dibutuhkan untuk menghentikan strategi ekspansionis agresif “Israel”.

Prioritasnya bagi para aktor regional dan anggota Uni Eropa adalah untuk menekan pemerintahan Trump, yang telah mengizinkan Netanyahu untuk kembali berperang.

Jika negara-negara Teluk tidak menjalankan strategi aktif dalam hal ini, mereka kemungkinan akan menghadapi konsekuensinya di tahun-tahun mendatang. Begitu pula, negara-negara Uni Eropa tidak punya pilihan selain mengambil berbagai tindakan hari ini agar tidak menghadapi krisis yang signifikan di tahun-tahun mendatang akibat langkah-langkah tak terkendali dari pemerintahan Trump.

Untuk menghentikan genosida di Gaza dan memulai negosiasi terkait gencatan senjata yang adil dan berkelanjutan, dunia Arab dan negara-negara Muslim harus segera menerapkan sanksi konkret terhadap “Israel”.

Tidak boleh dilupakan bahwa jika situasi ini tidak terwujud, garis patahan yang dipicu di kawasan itu akan menjadi lebih rapuh.

Tidak ada cara lain untuk mencegah tindakan destabilisasi “negara” pendudukan selain dengan mengedepankan kemauan yang kuat. (mus)

Sumber: Dailysabah 

Baca Juga