Yordan Larang Ikhwanul Muslimin, Analis: Ada Tekanan Saudi, UEA dan ‘Israel’

Demonstran di Amman, 21 Juni 2019, mengibarkan bendera Ikhwanul Muslimin & partai politik di Yordan dalam aksi menolak “Kesepakatan Abad Ini” Presiden Donald Trump. (AFP)

SALAM-ONLINE.COM: Keputusan Yordania untuk secara resmi melarang aktivitas Ikhwanul Muslimin, kelompok oposisi paling vokal di negara itu, menurut pengamat dan Analis, muncul setelah adanya tekanan terkoordinasi dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA) dan zionis penjajah (“Israel”).

Awal pekan lalu, Yordania menuduh Ikhwanul Muslimin berencana melakukan serangan di negara itu, sebuah pengumuman yang muncul sepekan setelah pihak keamanan mengatakan mereka telah menangkap 16 orang yang memiliki senjata dan bahan peledak.

Dalam pekan-pekan menjelang pengumuman hari Rabu (23/4/2025) gelombang hasutan terhadap Ikhwanul Muslimin telah melanda kerajaan Yordan, yang terutama didorong oleh media pro-pemerintah dan akun media sosial yang terkait dengan lembaga keamanan negara-negara kuat di kawasan tersebut.

Ketika otoritas Yordania akhirnya mengumumkan penangkapan “sel” tersebut, pengamat dan analis melihat nada dan waktu pengumuman tersebut sebagai puncak dari kampanye politik yang semakin intensif terhadap Ikhwanul Muslimin.

Media pemerintah mengutip juru bicara pemerintah yang mengatakan para tersangka adalah anggota Ikhwanul Muslimin yang berencana untuk “menabur kekacauan”.

Kemudian, media itu menyiarkan apa yang disebutnya sebagai pengakuan dari delapan tersangka. Enam di antaranya mengatakan bahwa mereka adalah anggota Ikhwanul Muslimin.

Hanya sepekan kemudian, sebelum ada seorang pun para tahanan dirujuk ke pengadilan, kementerian dalam negeri mengumumkan larangan menyeluruh terhadap Ikhwanul Muslimin. Pemerintah Yordan menuduhnya memproduksi dan menimbun senjata serta berencana untuk “mengacaukan kerajaan”.

Ditambahkan bahwa mereka telah melakukan penyelidikan terhadap lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan kelompok tersebut.

Bersamaan dengan itu, pasukan keamanan menyerbu markas besar Front Aksi Islam (IAF), sayap politik Ikhwanul Muslimin. Banyak pengamat melihat ini sebagai awal dari pencabutan izin IAF secara keseluruhan.

IAF merupakan partai oposisi terbesar di Yordania. Dengan 31 anggota di parlemen, partai ini memperoleh hampir sepertiga suara dalam pemilu tahun lalu. Ini menandai kemenangan elektoralnya yang paling signifikan sejak didirikan pada tahun 1992.

Ikhwanul Muslimin membantah adanya hubungan dengan “sel” dan dugaan rencana mengacaukan kerajaan tersebut.

Alih-alih menyatakan solidaritas dengan para tahanan — yang juga membantah tuduhan itu dan mengklaim tindakan mereka hanya ditujukan untuk mendukung Gaza — kelompok ini justru mengambil jarak sepenuhnya dari mereka.

Pada 23 April lalu, saat Menteri Dalam Negeri Mazin al-Faraya secara terbuka mengonfirmasi pelarangan terhadap Ikhwanul Muslimin dan memperingatkan media agar tidak mempublikasikan pernyataan mereka atau mewawancarai anggota Ikhwan, Raja Abdullah mendadak berangkat ke Arab Saudi untuk menemui Putra Mahkota Mohammad bin Salman.

Waktu kunjungan yang mendadak itu memicu spekulasi bahwa Riyadh menjadi dalang tindakan pembubaran terhadap Ikhwanul Muslimin tersebut. Pelarangan pemerintah itu meluas ke partai Front Aksi Islam/IAF (sayap politik Ikhwanul Muslimin Yordania).

Dengan demikian, Yordania nampaknya mengawali era baru dalam hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin.

Menjelang kunjungan Trump

Arab Saudi dan UEA telah lama memimpin upaya untuk melemahkan Ikhwanul Muslimin di kawasan tersebut.

Keduanya mendukung penggulingan pemerintah yang dipimpin Ikhwanul Muslimin oleh militer Mesir pada tahun 2013. Selanjutnya terus mendukung tindakan keras berikutnya: memenjarakan ribuan anggota Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Beberapa analis percaya tindakan Yordania dilakukan di bawah tekanan terkoordinasi dari Arab Saudi, UEA dan “Israel” (zionis penjajah).

Eskalasi ini menyusul aksi protes yang dipimpin  Ikhwanul Muslimin hampir setiap hari selama lebih dari 18 bulan di Yordania. Unjuk rasa yang mendukung Hamas dan mengutuk pembantaian “Israel” terhadap warga Gaza.

Demonstrasi sering kali bergerak ke arah perbatasan “Israel” dan menargetkan kedutaan besar penjajah itu di Amman.

Seorang jurnalis Yordania dengan identitas anonim menyampaikan kepada Middle East Eye (MEE), bahwa waktu pelarangan tersebut tak mustahil, juga terkait dengan diplomasi regional.

Baca Juga

“Tindakan pelarangan terhadap Ikhwanul Muslimin ini dilakukan menjelang kunjungan Presiden AS Donald Trump ke wilayah tersebut. Ini mungkin merupakan langkah antisipasi oleh Yordania untuk membujuk Trump agar mengembalikan bantuan AS yang ditangguhkan,” katanya.

“Arab Saudi dan UEA tidak jauh dari apa yang terjadi di Yordania. Pertemuan Raja Abdullah dengan Pangeran Mohammed bin Salman menegaskan hal ini,” ujarnya.

“Yordania mungkin berusaha menenangkan Saudi dengan harapan mendapatkan dukungan finansial untuk mengimbangi hilangnya bantuan AS, yang ditangguhkan Trump,” kata jurnalis Yordan itu.

Mendukung monarki

Banyak pengamat di Yordania mengatakan Ikhwanul Muslimin telah menjadi pilar stabilitas di kerajaan tersebut sejak berdirinya negara Yordania pada 1946.

Menghilangkan kelompok tersebut dari kehidupan politik mungkin menyenangkan negara-negara tertentu di kawasan. Tetapi hal itu juga mengancam stabilitas dalam negeri, karena Ikhwanul Muslimin telah menjadi bagian penting dari sistem politik di negara tersebut selama delapan dekade.

Ikhwanul Muslimin Yordania didirikan pada tahun 1945. Raja Abdullah I menghadiri upacara pembukaan kantor pusat pertamanya.

Ikhwanul Muslimin Yordania telah memiliki izin sejak 1945 dan terus beroperasi secara legal. Ketika pemerintah Yordania mengeluarkan keputusan pembubaran partai politik pada tahun 1957, Ikhwanul Muslimin dibebaskan, dan tetap aktif di bidang politik dan sosial.

Ikhwanul Muslimin sejak saat itu mendukung sistem politik dan berdiri di samping raja saat beberapa krisis serius yang mengancam akan menggulingkan monarki.

Pada tahun 1957, Ikhwanul Muslimin berpihak pada Raja Hussein melawan upaya kudeta oleh pemerintah Suleiman al-Nabulsi dan gerakan “Perwira” yang dipimpin oleh Ali Abu Nuwar.

Para perwira ini menerima dukungan dari presiden Mesir saat itu Gamal Abdel Nasser. Tetapi upaya kudeta paling serius terhadap monarki Yordania itu gagal. Hanya satu tahun kemudian, kudeta militer serupa berhasil menggulingkan monarki di Irak.

Pada tahun 1970, konfrontasi militer terbesar terjadi antara tentara Yordania dan pasukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dikenal sebagai Perang September, yang menimbulkan salah satu ancaman terbesar bagi monarki Yordania.

Kesetiaan tidak dihargai

Meskipun Ikhwanul Muslimin memiliki satu batalion yang berpartisipasi bersama pasukan perlawanan Palestina, namun mereka meletakkan senjata dan menolak terlibat dalam konfrontasi bersenjata dengan tentara Yordania, demikian menurut pengacara dan anggota parlemen, Saleh al-Armouti. Ia menyampaikan pernyataannya itu dalam pidato di parlemen baru-baru ini.

Ikhwanul Muslimin juga mendukung monarki ketika munculnya “Pemberontakan April” 1989 yang hampir menjatuhkannya.

Hal ini terjadi setelah jatuhnya nilai tukar dinar Yordania serta kenaikan harga barang dan komoditas pokok yang signifikan. Peristiwa ini memicu kemarahan yang meluas.

Krisis tersebut memuncak dengan pengumuman “transisi demokratis” dan pemilihan umum parlemen di akhir tahun itu, ketika Ikhwanul Muslimin memenangkan sepertiga kursi di parlemen.

Pada 1996, Ikhwanul Muslimin juga mendukung monarki dalam apa yang disebut sebagai “Pemberontakan Roti”, sebuah momen kerusuhan serius lainnya.

Protes tersebut dipicu oleh keputusan pemerintah untuk menaikkan harga roti yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan Perdana Menteri Abdel Karim Kabariti. Selama protes tersebut, Raja Hussein memuji Front Aksi Islam. Raja menyatakan bahwa mereka (Ikhwanul Muslimin) tidak ikut atau menyetujui protes tersebut. Tetapi justru membantu meredakan situasi.

Yordania sedang mengalami transformasi politik besar. Telah menjadi jelas bahwa lembaga politik sedang bergeser dan memandang Ikhwanul Muslimin sebagai beban. Mereka percaya bahwa melenyapkan kelompok tersebut dapat membuka jalan bagi hubungan yang lebih baik dengan Arab Saudi, UEA dan penjajah (zionis) “Israel”.

Mereka juga berharap langkah ini akan meyakinkan pemerintahan Donald Trump untuk melanjutkan bantuan keuangan ke Yordania. []

Sumber: Middle East Eye

Baca Juga