Tak Ada Normalisasi dengan ‘Israel’, Suriah Makin Jauh dari Kesepakatan Abraham

Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa (kiri) dan mantan Direktur CIA, pensiunan Jenderal AS, David Petraeus, muncul di panggung dalam KTT Tahunan Concordia 2025 di Hotel Sheraton, Times Square, New York City, pada 22 September 2025 (AFP)

SALAM-ONLINE.COM: Suriah dan “Israel” sedang dalam perundingan keamanan tingkat lanjut, tetapi kesepakatan apa pun yang dicapai akan jauh dari perjanjian normalisasi ala Abraham Accords, mengingat kemarahan dunia Arab terhadap “Israel”, kata Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa.

“Saya berharap hal ini akan membawa kita pada kesepakatan yang akan menjaga kedaulatan Suriah,” ujar Sharaa kepada mantan direktur CIA David Petraeus dalam sebuah acara di sela-sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York City, Senin (22/9/2025), seperti dilansir Middle East Eye (MEE), Selasa (23/9).

Kunjungan Sharaa ke New York telah sangat dinantikan, karena ia adalah pemimpin Suriah pertama yang memasuki AS dan menghadiri Sidang Umum PBB sejak tahun 1967.

Sharaa adalah pemimpin kelompok Islam Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) saat menggulingkan Presiden Suriah Basyar Assad pada Desember 2024
lalu. AS pun membatalkan hadiah $10 juta untuk pembunuhan terhadap Sharaa akhir tahun lalu dan mencabut status “teroris”-nya sebagai pemimpin HTS.

Para pengamat telah mencatat betapa surealisnya melihat Petraeus mewawancarai Sharaa, mantan anggota al-Qaida itu.

Sharaa dipenjara di Irak oleh militer AS ketika Petraeus, yang saat itu seorang jenderal AS, memimpin “serangan” pasukan Amerika. Sharaa adalah salah satu dari ribuan orang asing yang berbondong-bondong ke Irak untuk melawan Amerika.

Petraeus, yang menyebut dirinya “penggemar” Sharaa, mencatat ironi dari dua mantan musuh yang duduk bersama untuk berdiskusi di KTT Tahunan Concordia itu.

“Baguslah kita beralih dari perang ke dialog. Seseorang yang pernah mengalami perang adalah orang yang paling memahami pentingnya perdamaian,” kata Sharaa kepadanya.

Gaza Berdampak pada Posisi “Israel”

Kehadiran Sharaa tampaknya meredam ekspektasi akan kesepakatan besar dengan “Israel”. Ia juga menepis spekulasi bahwa Suriah dapat bergabung dengan Perjanjian Abraham, perjanjian tahun 2020 yang ditengahi oleh AS di mana UEA, Bahrain dan Maroko menormalisasi hubungan dengan “Israel”.

“Suriah berbeda, karena negara-negara yang menjadi bagian dari Perjanjian Abraham bukanlah tetangga ‘Israel’. Suriah telah menjadi sasaran lebih dari 1.000 serangan, serangan udara, dan invasi ‘Israel’ dari Dataran Tinggi Golan ke Suriah,” kata Sharaa.

Ia juga menyuarakan keraguannya untuk mempercayai “Israel”. Sharaa mempertanyakan apakah “Israel” berusaha untuk berekspansi di Suriah dan mencatat bahwa penjajah itu telah melanggar perjanjian damai dengan dua negara tetangga lainnya, Mesir dan Yordania.

“Ada juga kemarahan yang besar atas apa yang terjadi di Gaza, tidak hanya di Suriah tetapi di seluruh dunia, dan tentu saja, ini berdampak pada posisi kami terhadap Israel,” ujarnya.

Utusan AS Tom Barrack, yang telah memediasi perundingan antara Suriah dengan “Israel”, menggambarkan Sharaa sebagai seorang “pragmatis” dalam wawancara sebelumnya, tetapi Barrack juga mengatakan bahwa Sharaa tidak akan bergabung dengan Perjanjian Abraham karena ia “didukung oleh fundamentalis Sunni”.

Baca Juga

Sharaa bertemu dengan Presiden AS Donald Trump pada Mei lalu di Riyadh, Arab Saudi. Meskipun AS telah menghapusnya dari daftar “teroris”, namun PBB masih belum mencabut status “teroris”nya itu.

Sharaa dijadwalkan berpidato di hadapan majelis umum PBB pekan ini.

Salah satu tujuan utama Sharaa di AS adalah melobi pencabutan penuh sanksi terhadap Suriah. Trump mengumumkan bahwa semua sanksi akan dicabut dari Suriah pada Mei lalu. Selama musim panas, pemerintah mencabut sebagian besar sanksi terhadap Suriah, tetapi beberapa sanksi, seperti Undang-Undang Perlindungan Sipil Caesar Suriah, masih berlaku dan hanya dapat dicabut oleh Kongres.

Sharaa memuji Trump karena mencabut sanksi dan meminta Kongres untuk mengambil tindakan lebih lanjut. Ia mengatakan bahwa sanksi tersebut tidak lagi diperlukan dengan tumbangnya rezim Assad. Karena, sanksi sipil Suriah terkait terhadap Kejahatan yang dilakukan rezim Asad di Suriah pada masa lalu bersama sekutunya, Rusia dan Iran. Jadi tidak relevan lagi dengan Suriah saat ini di bawah pemerintahan baru.

Namun, beberapa anggota parlemen AS memerlukan jaminan bahwa pemerintahan Sharaa, yang sebagian besar terdiri dari mantan anggota HTS, akan melindungi minoritas Suriah setelah insiden kekerasan terhadap umat Kristen, Alawi, dan Druze pada musim panas ini.

Sejauh ini, isu paling sensitif yang harus ditangani Sharaa adalah penjajah “Israel”, yang telah menggempur Suriah dengan serangan udara, termasuk ke Kementerian Pertahanan yang berdekatan dengan Istana Kepresidenan. “Israel” memanfaatkan keruntuhan rezim Assad untuk menduduki sebagian besar wilayah barat daya Suriah dan Gunung Hermon yang strategis.

Perundingan Keamanan

Pemerintahan Sharaa sedang melakukan perundingan langsung dengan “Israel”, yang dimediasi oleh AS, untuk mencapai kesepakatan keamanan. Laporan media “Israel’ menyebutkan penjajah itu menuntut zona larangan terbang di atas wilayah selatan Suriah hingga ke ibu kota, Damaskus, dan zona keamanan luas yang melarang pengerahan tentara Suriah.

Reuters melaporkan bahwa “Israel” mendanai dan mempersenjatai hingga 3.000 milisi Druze di wilayah tersebut. Pasukan Suriah bentrok dengan Druze awal musim panas ini. Kedua belah pihak melaporkan terjadinya kekerasan.

Sharaa juga berusaha menguasai Suriah timur laut. Wilayah tersebut memerintah sendiri secara otonom setelah “Perang Saudara” Suriah di bawah Pasukan Demokratik Suriah (SDF).

AS mendukung SDF yang dipimpin Kurdi untuk melawan kelompok militan ISIS, tetapi dukungan tersebut membuat Turki gusar. Turki telah memerangi pemberontakan selama puluhan tahun melawan separatis Kurdi, yang disebut Partai Pekerja Kurdistan (PKK). SDF secara luas dipandang sebagai cabang PKK di Suriah.

PKK mengumumkan pembubarannya pada Mei lalu sebagai bagian dari kesepakatan damai bersejarah dengan Ankara, tetapi kader-kadernya di Suriah belum mengikuti langkah yang sama.

Turki adalah pendukung militer utama Sharaa dan memiliki pengaruh yang sangat besar di Damaskus. Pemerintahan Trump telah mendorong SDF untuk berintegrasi ke dalam militer Suriah. Upaya-upaya tersebut, yang dipimpin oleh Barrack, telah membuat marah beberapa pejabat AS yang menganggap Kurdi sebagai sekutu. (is)

Baca Juga