Catatan Abu Athif, Lc. -غفر الله له ولوالديه-
SALAM-ONLINE.COM: Penyebaran Islam ke wilayah Nusantara sejak abad ke-7 M menjadi babak baru perubahan besar di tengah masyarakat yang sebelumnya didominasi peradaban animisme dan dinamisme yang bercampur dengan hindu-budha. Kemajuan peradaban dirasakan di berbagai bidang kehidupan mulai dari sosial, ekonomi, politik hingga pendidikan.
Dalam bidang sosial, masyarakat lebih hidup secara egaliter tanpa ada sekat kasta. Sementara di bidang ekonomi, masyarakat Nusantara mulai memperluas jangkauan perdagangan secara ekspor dan impor hingga wilayah barat dan timur bumi. Dan di bidang seni-budaya terjadi akulturasi budaya antara nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal. Di bidang politik dan ketatanegaraan bermunculan Kerajaan-kerajaan Islam yang menyebar di wilayah Nusantara dari Samudra Pasai hingga kesultanan Ternate. Semuanya saling terhubung dan terkoneksi hingga menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan menjadi cikal bakal terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia di kemudian hari.
Dalam bidang pendidikan muncullah sistem pendidikan yang menjadi warisan otentik negeri ini; pesantren. Pesantren sebuah kata yang menunjukkan tempat berkumpulnya kaum santri dalam mempelajari Islam dan mengamalkannya. Dari tempat inilah lahir para tokoh masyarakat yang menjadi panutan, baik secara struktural maupun kultural.
Tidak dipungkiri lagi, bahwa kaum santri menjadi tonggak dan sekaligus ujung tombak peradaban Islam di bumi Nusantara. Kehidupan mereka yang saling terkoneksi antara satu pesantren dengan pesantren lainnya memperkuat eksistensi persatuan dan kesatuan yang dibalut dengan ikatan iman, bukan lagi dengan suku atau ras. Kiprah mereka sebagai agen perubahan di tengah masyarakat dijalankan dengan baik hingga tersebarnya Islam secara meluas dan cepat di berbagai pelosok wilayah Nusantara.
Para sejarawan mengungkapkan bahwa di abad 15 hingga 16 M pengaruh pendidikan pesantren memberikan warna dominan dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Di bawah bimbingan para ulama dan kiai, kehidupan harmonis dan penuh rasa persaudaraan benar-benar dijaga oleh para santri di mana pun mereka berada. Tidak mengherankan jika dakwah Islam di wilayah Nusantara menjadi percontohan dunia dalam penyebaran secara damai dan sekaligus menepis stereotip kaum orientalis yang menyatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan perang.
Ketika imperialisme Eropa barat mulai menginjakkan kakinya di wilayah Nusantara, para santri dengan arahan komando dari para ulama dan kiai berada di garda terdepan menghalau gerakan mereka. Dalam pertempuran melawan penjajah Portugis yang terjadi di Malaka pada tahun 1511, Kesultanan Demak di bawah Pangeran Sabrang Lor (Dipati Unus) mengerahkan pasukan jihad fi sabilillah. Perlawanan ini merupakan respons terhadap penguasaan Portugis atas Malaka, yang merupakan pusat perdagangan penting, dan upaya mereka untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Memang belum ditemukan sebuah tulisan sejarah yang menyebutkan secara eksplisit keikutsertaan para santri sebagai salah satu entitas tersendiri yang terlibat dalam pertempuran tersebut. Namun hipotesis yang muncul di kalangan pemerhati sejarah menyebutkan bahwa peran ulama dan santri sebagai bagian dari masyarakat Muslim yang religius kemungkinan besar terlibat dalam semangat perlawanan secara umum.
Demikian pula yang terjadi pada perlawanan kesultanan Ternate terhadap penjajah Portugis pada tahun 1575 M. Keterlibatan kaum santri atau ulama tidak secara eksplisit disebutkan dalam sumber-sumber utama, namun semangat jihad fi sabilillah dalam pidato penobatan Sultan Baabullah menjadi dasar perlawanan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat Muslim, termasuk santri, di samping prajurit kerajaan.
Pada perlawanan masyarakat Minangkabau terhadap Kolonial Belanda dari tahun 1821 hingga 1838 menjadi bukti sejarah tak terbantahkan akan keterlibatan entitas santri yang dipimpin para alim ulama, di antaranya adalah Tuanku Imam Bonjol. Pasang surutnya pertempuran tidak membuat para santri gentar dan berkecil hati dalam berjuang menghapuskan noda penjajahan di bumi Nusantara.
Di waktu yang hampir bersamaan, kaum santri di tanah Jawa juga berjuang melawan penjajah Belanda pada rentang waktu tahun 1825 hingga 1830. Tokoh sentral dalam perjuangan jihad fi sabilillah ini adalah Pangeran Diponegoro. Sosoknya menjadi tokoh inspiratif dan ikon perjuangan kaum pemuda di masa itu. Selain memiliki garis keturunan darah biru, Pangeran Diponegoro juga sosok santri yang secara aktif terlibat dalam pembelajaran dan pengajaran Islam di tengah masyarakat. Sebuah catatan sejarah menyebutkan bahwa salah satu kitab yang menginspirasi Pangeran Diponegoro adalah kitab Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari, seorang sufi Aceh dari abad ke-17. Pangeran Diponegoro juga menelaah At-Tuhfah karangan Ibn Hajar, Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali, dan epos- epos kepahlawanan Islam.
Dari bekal keseriusan dalam menelaah ilmu-ilmu keislaman inilah, Pangeran Diponegoro dan kaum santri di tanah Jawa tersadarkan dan kemudian bergerak melawan arogansi kolonial Belanda. Berdasarkan pada pijakan ilmu dan pengamatan di lapangan, pasukan santri berhasil merepotkan kekuatan kolonial Belanda dalam memonopoli dan mengeksploitasi penduduk Jawa. Selama lima tahun perjuangan Pangeran Diponegoro yang memiliki basis kekuatan santri mampu memberikan pukulan telak kepada Belanda, meskipun belum sepenuhnya membuat cengkeraman Belanda tercerabut dari tanah Jawa.
Kemudian ketika Fase perjuangan merebut kemerdekaan memasuki awal abad ke-20, terjadilah transisi dari perlawanan lokal ke pergerakan nasional yang terorganisir dan modern. Periode ini dibagi menjadi beberapa fase utama: Masa Pergerakan Nasional (1908-1942) yang fokus pada pembentukan organisasi dan kesadaran kebangsaan, Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) yang menjadi kesempatan sekaligus masa kelam, dan Masa Revolusi (1945-1949) yang melibatkan proklamasi, perjuangan fisik, dan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pada masa pergerakan nasional, entitas kaum santri kembali menunjukkan kontribusi besarnya dengan menginisiasi lahirnya sebuah organisasi berskala nasional seperti Serikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905 di Surakarta. Tokoh intelektualnya adalah KH. Samanhudi. Sosok santri yang berpikiran progresif. Di samping belajar Islam di pondok pesantren, KH. Samanhudi juga mengenyam pendidikan awal di Sekolah Dasar Bumiputera.
Perlawanan yang digelorakan KH. Samanhudi ini menitikberatkan pada sektor ekonomi perdagangan. Kiai Samanhudi memobilisasi para pedagang Muslim untuk melawan hegemoni pasar yang dimonopoli oleh kolonial Belanda dan etnis Tionghoa.
Dalam perjalanannya SDI bertransformasi menjadi pergerakan yang cakupan kerjanya lebih meluas, bukan hanya pada sektor ekonomi semata, namun mengarah pada pergerakan nasional yang lebih masif. Atas arahan dan masukan dari H.O.S Tjokroaminoto, SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada 9 November 1911. Pada perjalanannya organisasi ini menjadi wahana aktualisasi perjuangan para santri intelektual seperti KH. Agus Salim, Abdul Muis dan lainnya.
Pada masa pendudukan Jepang, kiprah kaum santri kembali menunjukkan taringnya sebagai pionir pergerakan kemerdekaan Indonesia dalam skop nasional. Di kancah politik dan diplomasi muncul nama KH. Wahid Hasyim sebagai anggota BPUPKI dan Panitia Sembilan yang turut merumuskan dasar negara Indonesia.
Dalam kancah perjuangan fisik, kaum santri juga membentuk beberapa laskar seperti Hizbullah dan Sabilillah untuk terlibat aktif dalam perang kemerdekaan melawan tentara sekutu dan NICA. Banyak pesantren menjadi basis perjuangan dan tempat persembunyian para pejuang di era ini.
Pasca proklamasi kemerdekaan, kaum santri terlibat aktif dalam menjaga kedaulatan dan mempertahankan kemerdekaan. Prasasti bersejarah luar biasa ditorehkan oleh kaum santri di masa ini dengan lahirnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 oleh KH. Hasyim Asy’ari. Santri dimotivasi untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dari momentum inilah, kemudian menjadi pemantik semangat perlawanan besar yang menimbulkan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Perjuangan kaum santri tidak berhenti sampai di sini. Di era awal-awal kemerdekaan yang dipenuhi oleh agresi militer dan tekanan politik dunia, Indonesia membutuhkan kekuatan kedaulatan yang diakui eksistensinya oleh masyarakat dunia. Upaya untuk merealisasikan hal itu tidak mudah. Intervensi pihak asing agar Indonesia tetap di bawah bayang-bayang pemerintah Belanda masih terus dilancarkan.
Perundingan demi perundingan digelar dalam rangka memecah belah kedaulatan Indonesia. Skenario menjadikan Indonesia berbentuk negara federal sudah di pengujung jalan. Dalam situasi ini, muncullah tokoh santri berintelektual tinggi yang berani menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia agar tetap Bersatu. Sosok ini adalah Mohammad Natsir. Pemuda bervisi keumatan yang matang ini berani menyuarakan mosi integral. Dari seruan Natsirlah, Republik Indonesia Serikat bertransformasi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.
Setelah kemerdekaan, kaum santri dengan basis pesantrennya melanjutkan perjuangan dengan membangun bangsa melalui pendidikan, pembangunan sosial, ekonomi, dan politik, serta berkontribusi dalam menciptakan stabilitas nasional. Mereka malakukan itu semua dengan kemandirian serta dedikasi tinggi tanpa mengharapkan imbalan dari negara.
Dari Sebagian goresan tinta sejarah ini, kita bisa memahami bahwa eksistensi perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari entitas kaum santri. Geliat dan gelora perjuangan melawan penjajahan tidak muncul begitu saja, melainkan didasari pada tiga faktor penting. Pertama, masyarakat Indonesia sebagian besar sama-sama merasakan penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh para penjajah. Kedua, seluruh masyarakat Indonesia bahkan wilayah Asia Tenggara bisa disatukan dengan Bahasa melayu. Dengan kesamaan Bahasa ini menjadikan wilayah Nusantara yang luas bisa disatukan dengan komunikasi yang sama, sehingga memudahkan untuk memobilisasi perlawanan secara nasional. Dan ketiga, sebagian besar penduduk di wilayah Nusantara pada saat pra kemerdekaan mayoritas adalah Muslim.
Ketiga faktor penting inilah yang kemudian menjadi modal dasar terbentuknya pergerakan perlawanan, baik secara lokal maupun nasional. Dari titik ini, sebagai warga negara yang berstatus Muslim haruslah memahami bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan amanah dari para pejuang dan syuhada negeri ini yang diletakkan pada pundak generasi kaum Muslimin hari ini untuk dijaga dan dirawat.
Di sisi lain, menegasikan Islam dari spirit perjuangan kemerdekaan negeri ini adalah sikap berpikir ahistoris yang tidak obyektif. Kaum santri sebagai pelaku utama dalam perjuangan ini menjadi bukti nyata dari nafas dan nilai-nilai Islam yang terwujud dalam perjuangan dan pengorbanan. Dari sinilah nampak korelasi antara kaum santri dan negeri ini. Ketika kaum santri maju maka majulah negeri ini. Selamat Hari Santri Nasional!
Referensi:
Bachtiar, Tiar Anwar. 2018. Jas Mewah -Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah dan Dakwah-. Yogyakarta: Pro-U Media.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2013. Api Sejarah. Bandung: Salamadani.
*Catatan Redaksi: Artikel ini khusus ditulis oleh Abu Athif, Lc, pengasuh sebuah pondok pesantren di Jawa Tengah, dalam rangka Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2025




