Saatnya Hukum Tegak Menyumpal ‘Mulut Busuk’ Penista Islam

Sukmawati Soekarnoputri dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan. (Foto: Suara.com/Arga).

Catatan M Rizal Fadillah*

SALAM-ONLINE: Lagi-lagi omongan “busuk” keluar dari mulut Sukmawati anak Soekarno. Menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ia mengaitkan hal yang jauh dari relevansi soal kemuliaan Nabi dengan Soekarno dan tokoh lain.

Sukma bertanya dengan pertanyaan bodoh dan konyol: “Di abad 20 ini lebih berjasa Nabi Muhammad atau Soekarno?” Lalu ia memuji Soekarno yang berjasa bagi kemerdekaan negara Indonesia.

Sebelumnya Sukmawati pernah membuat puisi yang dinilai menghina Islam. Syariat Islam dibandingkan dengan konde ibu-ibu. “Sarikonde”, katanya. Merendahkan pula cadar. “Alunan kidung lebih merdu daripada suara adzan,” ujarnya.

Memang, ia mengaku tak paham syariat. Tapi anehnya melecehkan syariat. Mulut penghina Islam adalah busuk. Maka, namanya pernah dipelesetkan “bu suk”, Ibu Sukmawati.

Kini direndahkannya Nabi Muhammad. Nabi mulia yang dihormati dan dicintai umat. Dia membandingkan dengan Soekarno. Sungguh amat tidak relevan dan sangat mengada-ada.

Membawa dan menganggap Nabi Muhammad tidak berjasa bagi kemerdekaan Indonesia adalah naif. Anak SD pun tahu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak hidup di Indonesia. Apa kaitan dengan jasa kemerdekaan? Sungguh jahil.

Baca Juga

Dahulu Arswendo Atmowiloto, seniman yang “iseng” menempatkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di bawah Soeharto, dinilai menghina Nabi. Dia dihukum penjara 5 (lima) tahun. Kini keisengan mulut Bu Sukmawati patut pula untuk dihukum.

Sayang skeptisme menerpa umat di rezim ini. Telah banyak penista Islam bebas-bebas saja. Ahok dihukum dengan tekanan jutaan umat. Itu pun dipenjara dengan penuh pemanjaan. Lapas yang tak jelas.

Para penista Islam yang bebas berujar dan berulah semakin banyak di negeri ini. Mulut-mulut busuk melecehkan akidah dan syariah. Sulit memprosesnya. Simbol-simbol keislaman disudutkan dan dilekatkan pada predikat negatif, apakah radikal, intoleran, bahkan teroris. Radikalisme adalah kata yang disemburkan oleh mulut busuk “islamofobia”, lalu diburu dan diintimidasi. Racun ketakutan ditebar ke mana-mana.

Saatnya politik hukum keagamaan ditata ulang. Pengambil keputusan politik di negeri ini mesti lebih arif. Main tuduh dan memproteksi peleceh Islam adalah langkah yang tidak sehat. Hanya menciptakan kekecewaan dan kejengkelan.

Tak ada bangunan apik yang dapat didirikan di atas fondasi kejengkelan dan kekecewaan. Mulut-mulut busuk semestinya disumpal oleh hukum. Agar para peleceh lain juga jera.
Agama mesti dimuliakan. Bukan dihina dan direndahkan.

*) Pemerhati Politik dan Keagamaan

Bandung, 15 November 2019

Baca Juga