Ketum Muhammadiyah: Indonesia Jangan Didominasi Satu Golongan yang Merasa Paling Benar

“Hal itu merupakan bentuk dari fatanisme dan menjurus ke radikalisme. Mau dikemanakan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika?”

Dr Haedar Nashir

YOGYAKARTA (SALAM-ONLINE): Sehubungan dengan pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj yang menjadi polemik di ruang publik, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr Haedar Nashir, menegaskan, Indonesia jangan didominasi oleh satu golongan apalagi bermazhab golongan tertentu yang menegasikan komponen bangsa lainnya, dengan menganggap diri paling benar.

“Hal itu merupakan bentuk dari fatanisme dan menjurus ke radikalisme. Mau dikemanakan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika?” tanya Haedar, yang dikutip Muhammadiyah.id, Senin (28/1/2019).

Haedar juga mengimbau, hendaknya semua tokoh umat dan bangsa penting mengedepankan ukhuwah secara autentik untuk merajut kebersamaan nan tulus dan tidak mengedepankan egoisme golongan.

“Di tahun politik ini bahkan jauhi ujaran-ujaran yang berpotensi menumbuhkan retak di tubuh umat dan bangsa, jika ingin Indonesia rukun dan utuh sebagaimana sering disuarakan dengan penuh gelora,” tutur Haedar.

Para pemimpin agama niscaya menampilkan uswah hasanah dan tidak menebar resah agar umat makin santun dan bijaksana.

“Mari ciptakan suasana damai dan keadaban mulia dalam berbangsa,” ajak Haedar.

Selain itu, Haedar berharap agar warga Persyarikatan dan umat Islam bijak dan tidak terbawa suasana polemik dalam merespons pernyataan Said Aqil itu.

“Tetap ciptakan suasana tenang dan ukhuwah, tidak perlu bereaksi melebihi takaran. Tunjukkan warga Persyarikatan cerdas dan dewasa,” harap Haedar.

Haedar menuturkan  Muhammadiyah tentu sangat berharap dan berpandangan tegas bahwa negara dan instansi pemerintahan Indonesia harus menjadi milik bersama sebagaimana amanat konstitusi, jangan menjadi milik golongan.

“Pemerintahan harus berasaskan meritokrasi atau dasar kepantasan dan karir, jangan di atas kriteria primordialisme atau sektarianisme. Jika Indonesia ingin menjadi negara modern yang maju, maka bangun good governance dan profesionalisme, termasuk di Kementerian Agama,” tegas Haedar.

Baca Juga

Jangan berdasarkan kriteria golongan, apalagi dijadikan milik golongan tertentu. Jika primordialisme dibiarkan masuk dan dominan dalam institusi pemerintahan maka jadinya akan menghilangkan objektivisme dan prinsip negara milik semua.

“Bahayanya jika hal itu dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi, bahkan dapat memicu konflik atau perebutan antargolongan di Indonesia,” ujar Haedar.

Haedar berharap pidato Ketum PBNU tidak perlu ditanggapi berlebihan.

“Hendaknya pernyataan Kiai Aqil Siradj  jangan jadi polemik di lingkungan umat Islam dan masyarakat, lebih-lebih di tahun politik. Semua pihak diharapkan bijak dan tidak memperpanjang masalah ini. Kita lebih baik mengedepankan ukhuwah dan mengerjakan agenda-agenda yang positif bagi kemajuan umat dan bangsa,” pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, Ketua PBNU Said Aqil Siradj dalam peringatan Hari Lahir ke-73 Muslimat NU di Jakarta, Ahad (27/1), menyinggung posisi NU di tengah-tengah masyarakat.

Said Aqil mengatakan NU harus berperan di semua bidang agama dan mesti mendominasi. Imam masjid, khatib, pejabat KUA, hingga Menteri Agama, harus yang berasal dari NU, katanya.

“Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA, Menteri Agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua; nanti banyak bid’ah kalau selain NU. Ini bid’ah nanti. Tari-tari sufi (dituduh) bid’ah nanti,” ujar Said Aqil seperti dikutip banyak media.

Pernyataan itu direspons banyak pihak sebagai intoleran dan anti kebhinnekaan yang, padahal, sering digaungkan oleh Said Aqil sendiri.

Berbagai kalangan heran, terhadap umat di luar Islam, Said Aqil, minta agar umat Islam toleran, tidak sektarian dan mengedepankan kebhinnekaan. Namun di internal umat Islam sendiri, Ketum PBNU ini justru intoleran, sektarian, menunjukkan egoisme golongan dan tidak peduli keberagaman organisasi dan kelompok. (adam)

Sumber: Muhammadiyah.id, Tirto.id

Baca Juga